Logo Spektakel

Home > Sorotan > Ritual Adat >

Spiritualisme Masyarakat Tengger Saat Ini

Spiritualisme Masyarakat Tengger Saat Ini

Agama bagi masyarakat Tengger adalah hubungan harmonis antara kehidupan yang sedang dilakoni saat ini, alam roh para leluhur, dan Sang Pencipta; konsep yang memang tidak lagi mudah dipahami bagi manusia yang dekat dengan hingar bingar modernitas ataupun mereka yang paradigmanya terkungkung kepicikan interpretasi dogmatik agamanya sendiri.

Masyarakat Tengger merupakan masyarakat yang agamis, perilaku yang tidak hanya dipraktekkan dalam perayaan ritual keagamaan, namun juga di keseharian. Sesuatu yang telah mereka jalani dengan ketaatan yang sunyi selama puluhan generasi. Tentu banyak orang yang tidak mengetahui hal ini. Sebab, bagi masyarakat Tengger laku kehidupan agama bukanlah sesuatu yang harus ramai dibicarakan atau diperbandingkan.

Agama bagi masyarakat Tengger adalah hubungan harmonis antara kehidupan yang sedang dilakoni saat ini, alam roh para leluhur, dan Sang Pencipta; konsep yang memang tidak lagi mudah dipahami bagi manusia yang dekat dengan hingar bingar modernitas ataupun mereka yang paradigmanya terkungkung kepicikan interpretasi dogmatik agamanya sendiri.

 

Gelombang turisme semakin marak mewarnai kehidupan masyarakat Tengger saat ini. Kawasan Taman Nasional Bromo Tengger Semeru, tempat dimana mayoritas orang Tengger hidup, telah menjelma menjadi satu destinasi wisata mainstream di provinsi Jawa Timur.

 

Ribuan wisatawan mendatangi perbukitan di sekitar gunung Bromo setiap pagi untuk berburu sunrise-nya yang dramatis. Sementara ratusan lainnya bergantian berdatangan setiap hari untuk mendaki gunung Semeru. Berusaha mencapai titik tertinggi pulau Jawa. Lalu setiap tahun dihelat pula pertunjukan musik bernuansa jazzy yang gaungnya semakin berkibar tinggi, membuatnya jadi satu ajang musik yang wajib didatangi.

Semarak turisme selain membawa berkah secara ekonomi tentu datang bersama efek samping lainnya. Datangnya berbagai budaya yang berbeda serta tubian informasi adalah hal yang paling kentara. Hal-hal tadi lalu terserap dalam kehidupan masyarakat Tengger. Terutama pada generasi yang lebih muda.

Perubahan pola laku menjadi niscaya karena filter sosial belum dapat tercipta dengan baik. Bayangkan saja jika kompleks pemukiman anda didatangi ribuan pengunjung hampir setiap harinya, perubahan secara cepat tentu terjadi. Apalagi jika nilai-nilai budaya lokal tak dipeluk dengan erat.

Masyarakat Tengger yang tersebar di berbagai perkampungan dalam wilayah 4 Kabupaten di Provinsi Jawa Timur merepresentasikan spiritualisme mereka dengan adanya Dukun yang berkedudukan di masing-masing kampung. Dukun merupakan pemimpin berbagai ritual adat yang membuatnya menjadi tokoh yang dihormati dalam kehidupan bermasyarakat.

Biasanya ada 2 (dua) orang Dukun di masing-masing desa Tengger. Seorang Dukun Adat dan seorang lagi sebagai Dukun Umat. Tetapi ada pula Dukun yang tidak berurusan memimpin ritual keagamaan, yaitu Dukun Bayi. Peran Dukun Bayi, yang pasti adalah seorang perempuan, berpusat di sekitar kelahiran dan rites of passages bagi seorang bayi.

Masih ada pula beberapa orang yang menjadi pembantu para Dukun yang di Tengger disebut Legen. Spiritualisme Tengger yang dimasukan ke dalam “kotak” Hinduisme di Indonesia kadang masih menimbulkan perdebatan, terutama di tingkatan para pemerhati aliran kepercayaan.

Kesepakatan untuk “masuk” ke dalam Hinduisme dibuat kala rezim Orde Baru berjaya. Rezim yang memang membatasi keragaman agama yang harus dipeluk. Akibatnya tak bisa lagi masyarakat Tengger mendaku agamanya sebagai “Agama Tengger”. Meski tak sedikit perbedaan dalam laku ibadah dan falsafahnya, sifat Hinduisme yang memang terbuka membuatnya melekat dengan masyarakat Tengger semenjak itu.

Lalu untuk “melegalkan” perbedaan dengan Hinduisme sejati, maka disebutlah “Hindu Tengger” sebagai agama resmi masyarakat Tengger. Di seputar masalah “itu” yang membuat perdebatan para pemerhati tadi belum reda sepenuhnya. Jamak terjadi pula dengan berbagai agama lokal lainnya di antero Indonesia berkat kebijakan Orde Baru puluhan tahun lampau. Akibatnya saat ini selain masih melakukan berbagai ritus “agamanya”, orang Tengger pun merayakan hari raya agama Hindu seperti Kuningan, Galungan, Saraswati, atau Nyepi. Namun ternyata norma lokal yang meresap di dalam darah dan jiwa tak dapat dipungkiri.

Perayaan-perayaan Hindu “formal” tadi masih kalah meriah dibandingkan laku ritus-ritus lokal. Kasada, Karo, Unan-unan, Tirto Aji, Entas-entas serta berbagai ritual lainnya terasa lebih “serius” kemeriahannya.

Tulisan ini tidak bermaksud membedah detail laku spiritualisme Tengger, jadi silakan telusuri sendiri masing-masing ritus Tengger ini, informasinya mudah didapatkan. Baik tentang kapan dilangsungkan ataupun filosofi penyelenggaraannya. Jangan heran jika Anda akan temui pula berbagai informasi soal ritual domestik lain dari masyarakat Tengger. Kajian ilmiah tentang ritus-ritus ini pun telah banyak tersedia.

 

Menjadi bagian dari manusia-manusia yang mendiami Pulau Jawa, salah satu pulau terpadat di dunia, membuat berbagai hambatan infrastruktur tak ada lagi bagi masyarakat Tengger. Membeludaknya informasi terjadi juga disini. Informasi-informasi yang jika disusuri ujungnya hanya akan menciptakan masyarakat yang “seragam” secara keinginan.

 

Rumah yang “bagus”, kendaraan pribadi yang “baik”, ekspresi diri yang meminta pengakuan publik, serta berbagai impian lain yang dijajakan lewat beragam moda penyebaran informasi. Akibatnya modernitas pun semakin kukuh menancap di kawasan Tengger. Termasuk dengan memeluk agama lain yang tidak “tradisional”.

Meski belum terlalu mempengaruhi laku spiritualismenya, modernitas perlahan tentu akan menuntut “korban” pula di Tengger. Saat ini masyarakat Tengger terlihat masih dengan meriah dan khusyuk merayakan berbagai ritual tradisinya. Namun di beberapa lokasi pergeseran terjadi, anggota masyarakat yang telah memeluk agama selain “Hindu Tengger” tampak enggan untuk berpartisipasi dalam laku tradisi. Mereka merasa cukup menjadi penonton saja. Sebuah perilaku yang jelas tidak “tengger” sama sekali.

Perubahan zaman tak dapat ditolak, lumrah terjadi dalam perkembangan suatu masyarakat. Namun hendaknya hal itu tidak terjadi dengan cepat di Tengger. Agar kita sempat belajar kepada masyarakat Tengger. Dapat memahami bagaimana menempatkan hubungan dengan sang Pencipta ternyata sama pentingnya dengan menjaga hubungan antar manusia.

Sembari tidak melupakan untuk memelihara lestarinya semesta. Tentu bukan tanpa maksud mereka bersikeras menjaga spiritualismenya selama puluhan generasi dengan melalui berbagai cobaan zaman. Semoga mendatangi berbagai “punden” dan “sanggar” untuk memohon berkah para leluhur dan keselamatan kepada Sang Hyang Widhi tetap terlihat “keren” di Tengger.