Logo Spektakel

Home > Sorotan > Profil >

Dimitri Josephine Sahertian: Tentang Peluang Melestarikan Mitologi Indonesia dalam Animasi

Dimitri Josephine Sahertian: Tentang Peluang Melestarikan Mitologi Indonesia dalam Animasi

Teks & Foto oleh: Primagung Dary Riliananda

Dimitri Josephine Sahertian: Tentang Peluang Melestarikan Mitologi Indonesia dalam Animasi

Evolusi teknologi dalam bidang kreatif dan seni sejatinya bukan barang baru. Ia biasanya menjelma dalam wujud alat bantu, yang akan mempermudah pengkarya menciptakan aneka ragam rupa dan bentuk. Pada momen, kebutuhan, dan hal-hal tertentu, kejelian para pengkarya dalam melihat peluang di ranah ini akan memperluas potensinya ke tingkat yang lebih jauh.

Suhu di Lebak Bulus begitu terik pada pertengahan Januari lalu. Riuh lolongan klakson kendaraan bermotor membuat suasana semakin bising, dan seakan menjadi isyarat bagi saya untuk mencari tempat berteduh sesaat sembari menunggu ojek daring yang akan mengantar menuju Luze Studio: tempat seorang Dimitri Josephine Sahertian dan rekan kerjanya -yang notabene merupakan para animator- menata satu demi satu fragmen visual yang terbentuk dari hasil kecerdasan teknologi. Mimpinya besar: membuat proyek animasi bertemakan mitologi lokal yang dapat bersaing di pasar lokal dan internasional.

Ojek yang dinanti akhirnya tiba, dan kami beranjak ke studio yang kira-kira hanya sejauh lima menit naik motor. Studio itu lebih nampak seperti rumah jika dilihat sekilas, hingga saya merasakan suasana berbeda begitu masuk. Hampir semua orang yang ada di sana fokus melihat monitor, dengan mata yang mengamati satu demi satu detail di layar dan tangan-tangannya yang sibuk menggerakkan mouse dengan cepat. “Mereka sedang mengulik gambar yang sudah diberikan untuk dijadikan animasi,” kata Dimitri, sesaat sebelum kami memulai obrolan yang cukup panjang setelahnya.

Pertemuan Dimitri dengan bidang kreatif sebetulnya sudah dimulai sejak ia berada di bangku sekolah menengah atas. Dirinya tertarik dengan ragam visual dan audio, terutama Ketika membicarakan aliran-aliran musik dan film yang tidak biasa didengarkan dan dilihat oleh kebanyakan orang. ”Ketika luang, saya suka mencari film yang masuk ke dalam nominasi festival film di Indonesia atau luar negeri. Ketertarikannya sudah terbangun dari sana, walaupun saat itu belum tahu bisa digunakan seperti apa,” katanya. Sejak itu pula, angan jangka panjang untuk berkecimpung dan menjalankan sebuah payung yang bergerak dalam industri kreatif mulai terpupuk.

Potret Dimitri di dalam ruang kerjanya. (Foto: Spektakel/Primagung Dary Rilianda)

Angan itu mulai menemukan polanya saat Dimitri menyelesaikan studinya di Australia sekitar pertengahan 2016. Ia memutuskan untuk kembali ke Indonesia dan menyibukkan diri sebagai creative planner selama beberapa tahun sebelum pandemi melanda. Wanita keturunan Maluku dan Belanda ini kemudian melihat industri yang disenanginya tidak dapat bergerak leluasa karena aturan lockdown yang diterapkan. “Semua hal serba terbatas pada saat itu, banyak event yang terpaksa dibatalkan karena tidak boleh mengumpulkan kerumunan, beberapa produksi iklan dan film juga dibatalkan,” kenangnya.

Merasa belum selesai dengan rencana awalnya, ia kemudian melakukan riset di tahun yang sama bersama Arie Patih, sosok yang kemudian menjadi suaminya. Setelah menelusuri, mereka menemukan peluang baru dalam bidang Virtual Production (VP) menggunakan Unreal Engine, perangkat lunak yang biasanya digunakan untuk membuat gim. Dirinya tertarik begitu melihat cuplikan film Mandalorian yang tayang pada 2019, dan belakangan mengetahui jika animasi tiga dimensi itu dibuat menggunakan Unreal Engine. 

Sejak itu, Dimitri sadar jika perangkat ini dapat dipakai untuk industri lain diluar pembuatan gim seperti Virtual Production, pembuatan animasi, bahkan di industri seperti fashion, edukasi, produk, iklan atau campaign, bahkan virtual fashion show. “Sebenarnya, peluang ini sudah bermunculan di luar negeri, namun belum banyak digunakan dan dilirik oleh para pelaku kreatif di Indonesia karena beberapa alasan teknis dan nonteknis,” kata Dimitri. Ia akhirnya mempelajari Unreal Engine dan menerapkan perangkat ini dalam beberapa proyeknya.

Di sisi lain, Mandalorian juga menjadi katalis bagi Unreal Engine untuk melihat peluang dari sisi kreator. Mereka perlahan menyadari, perangkat yang telah dibuatnya ternyata dapat digunakan pada industri lain di luar pembuatan game. Gayung pun bersambut bagi Dimitri dan suaminya, yang saat itu mulai rutin membuat beberapa proyek kreatif menggunakan perangkat tersebut. Dimitri akhirnya mendapatkan kesempatan untuk menjadi instruktur Unreal Engine bersertifikat secara langsung. “Memang, untuk saat ini saya menjadi perwakilan instruktur perangkat tersebut di Indonesia, nanti mungkin akan lebih banyak orang lagi di posisi yang sama,” jelasnya.

Potret Dimitri tengah fokus mengerjakan salah satu proyeknya. (Foto: Spektakel/Primagung Dary Rilianda)

Dimitri merasa, baik dia maupun Unreal Engine memiliki kesamaan: mereka tengah merangkak untuk mengenali potensi maksimal perangkat dan juga pasar yang ada. Mereka meraba-raba setiap kemungkinan, apalagi kondisinya saat itu belum banyak yang melihat Unreal Engine sebagai terobosan baru. Menurutnya, para pengembang bahkan bisa jadi juga tidak menyangka kalau Unreal Engine juga dapat dipakai dalam produksi di industri kreatif. 

Peran sang suami juga tak dapat dipisahkan dari perkembangan Dimitri di saat ini. Berlatar belakang pekerjaan di bidang industri film, televisi, dan event, Arie secara tidak langsung mengenalkan Dimitri pada industri ini melalui proyek-proyek yang sebelumnya telah dikerjakan. Arie juga yang mengajak Dimitri mengulik Unreal Engine bersama-sama untuk mengetahui potensi maksimal perangkat tersebut dari satu proyek ke proyek lainnya. “Waktu itu, cara kami belajar hanya melalui menggunakan proyek-proyek yang sedang dikerjakan. Pengetahuan yang dapat diakses saat itu masih sangat terbatas,” ungkap Dimitri.

Di sela-sela pekerjaannya sebagai konsultan Virtual Production, Dimitri juga tengah melangkah di rute baru menuju ambisi berikutnya untuk menarasikan mitologi-mitologi Indonesia dalam bentuk film animasi. Setelah sekian lama dipikirkan dan dirancang, inisiatif ini mulai berjalan sejak awal 2024 di Luze Studio, yang notabene merupakan studio visual production miliknya dan sang suami. Studio itu memang sengaja dirancang sebagai ruang untuk mengeksplorasi mimpi besarnya bersama sang suami secara maksimal.

Dalam prosesnya, dirinya juga menggandeng animator muda, yang menurutnya juga jauh lebih cepat belajar dan dapat melakukan banyak terobosan positif. Uniknya, sebagian besar dari mereka mempunyai dasar pembuatan animasi menggunakan perangkat yang berbeda, dan baru mulai mempelajari Unreal Engine. Bagi Dimitri, ini juga menjadi sarana dirinya untuk membagikan ilmu yang sudah didapatkan dari proses belajarnya yang memakan waktu hingga bertahun-tahun. Mereka juga harus bisa meneruskan keterampilan ini untuk kelangsungan industri kreatif yang jauh lebih baik di masa depan.

Baginya, ini menjadi upaya untuk menjawab keresahan kepada industri kreatif, terutama film di dalam negeri, yang cenderung merepetisi pembuatan film bertemakan horor, mistis, kesedihan, dan drama. Padahal, Indonesia sendiri terlampau luas untuk hanya dikemas dari sudut pandang seperti itu. ”Pasar yang mendukung film-film itu jelas menjadi alasan terbesarnya. Padahal, kearifan lokal kita itu sedemikian banyak, dan mitologi cuma salah satunya, namun nyatanya masih banyak orang yang mengesampingkan,” katanya.

Ketertarikannya untuk mengangkat mitologi Indonesia dalam proyeknya dilatarbelakangi oleh berkembangnya industri film animasi barat yang mengadopsi penokohan-penokohan superhero dan tokoh-tokoh lokalnya masing-masing secara pesat, bahkan hingga melahirkan konsep “universe” yang dapat membuat masing-masing tokoh menjadi saling berkaitan dan juga membuat penonton menjadi lebih mempunyai relasi dengan tokoh maupun cerita. ”Misalnya saya saja, setiap kali menonton film-film yang diproduksi Marvel saja, baik dari sisi aspek teknis maupun penceritaan. Saya selalu berpikir, bahwa saya juga bisa melakukannya dengan versi Indonesia,” ia melanjutkan.

Tentang mitologi apa saja yang sedang didokumentasikan dan digarap dalam proyek besarnya, secara spesifik Dimitri masih merahasiakan. Saat ini, ia dan timnya masih berusaha untuk meriset ke beberapa daerah, termasuk hingga wilayah Indonesia timur untuk mendapatkan data, alur cerita, dan gambaran visual yang akan ia ciptakan pada proses kreatifnya nanti. “Untuk semua cerita dan tokoh, kita tunggu dulu saja sampai seluruh proyeknya selesai dan resmi diliris, kami juga bisa fokus dulu,” ujarnya sambil tertawa.

Ia berharap, karya yang sedang digarap bersama timnya kelak dapat menjadi sarana edukasi, baik dalam konteks budaya melalui konsep-konsep mitologi yang diangkat, maupun secara teknis pemanfaatan Unreal Engine dalam proyek karya kreatif seperti film, mengingat karyanya akan menjadi proyek film pertama di Indonesia yang menggunakan teknologi Unreal Engine sepenuhnya.

Hingga saat ini, bukan perkara mudah untuk mengenalkan dan meyakinkan penggunaan teknologi terbaru kepada para pelaku kreatif, yang pada dasarnya sudah terbiasa dengan sistem konvensional. hal itu seringkali dihadapi Dimitri dengan suami selama melakukan proses edukasi. Anggapan bahwa itu memangkas biaya produksi menjadi jauh lebih sedikit dan memotong beberapa peran di lapangan, hingga tingkat keaslian dari cuplikan-cuplikan visual yang dianggap berkurang hanya dua dari sekian banyak dinamika yang sering mereka temui. Di sisi lainnya, ada juga produser atau sutradara yang merespons dengan melakukan beberapa kolaborasi di beberapa cuplikan film tertentu.

Dimitri sedang berdiskusi dengan rekan-rekan kerjanya sembari membahas proyek yang tengah mereka kerjakan.

Ia dan suaminya tetap beranggapan, adaptasi pada akhirnya menjadi kunci bagi seluruh pelaku kreatif agar dapat bertahan di dunia yang kini melaju semakin cepat. Apalagi, kenyataan bahwa penggunaan teknologi yang lebih baik sudah menjadi hal yang lumrah di negara-negara lainnya membuat mereka tetap percaya pada hal yang sebelumnya sudah dipelajari selama bertahun-tahun. “Namanya juga industri kreatif, seharusnya semua lini dapat merespons perkembangan apapun dengan kreasi baru,” katanya.

Bagi Dimitri, prospek industri kreatif digital di indonesia sebetulnya memungkinkan untuk dibuat dan dimaksimalkan, asalkan pola pikir para pelaku dan penggunanya dapat mengikuti. “Banyak pelaku kreatif di luar negeri yang tahu manfaat dari virtual production. Mereka bahkan berlomba-lomba untuk mengerti baik secara teknis dan alat. Jika kita bicara di Indonesia, sejauh ini, dari proyek yang sudah dikerjakan, banyak orang yang masih belum memahami betul-betul apa manfaat dari teknologi ini beserta penggunaan perangkatnya, dan hal itu juga yang membuat kami selalu berusaha untuk selalu memberikan pemahaman secara maksimal hingga saat ini,” lanjutnya.

Hal yang sama juga berlaku untuk Artificial Intelligence (AI), yang belakangan mulai masuk ke banyak lini. Bagi Dimitri, kemampuan pelaku kreatif di Indonesia untuk dapat beradaptasi dengan cepat masih perlu digali lagi. “Saya belum tahu jika kondisinya seperti ini, mengingat pro-kontranya juga cukup banyak. Namun saya rasa semua akan dikembalikan kepada para pelakunya lagi, sampai sejauh mana proporsi AI akan mereka gunakan di setiap karya, hingga karya ini menjadi seimbang baik antara penggunaan teknologi maupun gagasan awal dari pengkarya,” Dimitri menyimpulkan.