Sepertiga dari luas wilayah Kanekes adalah Hutan Larangan. Hutan yang dititipkan oleh leluhur mereka untuk dijaga dengan sebaiknya. Hutan yang sejatinya terus memberi, namun tak pernah mereka curi. Suatu konsep purna tentang pelestarian yang telah lama digariskan dan begitu ditaati.
Entah sejak kapan masyarakat Kanekes tinggal di wilayah ini, wilayah yang dititipkan leluhur mereka, yang tidak bisa diperluas maupun diperkecil.
Menurut budaya tutur mereka, kehidupan manusia dimulai di Bumi Kanekes, lalu berkembang dan menyebar ke berbagai penjuru dunia. Mereka percaya tanahnya adalah pusat dunia. Penentu kehidupan seluruh manusia.
Masyarakat Kenekes oleh banyak orang sering disebut sebagai Orang Baduy. Penamaan dari luar yang pada akhirnya melekat hingga saat ini.
Masyarakat Kanekes dibagi menjadi 2 macam, yaitu Urang Tangtu - lebih dikenal sebagai Baduy Dalam - dan Urang Panamping - atau Baduy Luar. Kampung Urang Tangtu hanya ada 3 buah, tak boleh dikurang serta tak bisa ditambah. Cikeusik, Cikartawana, dan Cibeo adalah ketiga kampung itu. Mereka menyebutnya sebagai Tangtu Tilu. Sementara saat ini pemukiman Urang Panamping ada lebih dari 60 kampung, tersebar di penjuru wilayah adat Kanekes.
Ada pula beberapa kampung Panamping yang berada di luar wilayah adat, kampung-kampung itu mereka sebut sebagai Kampung Dangka. Secara tradisional kampung Dangka melekat pada budaya Kanekes sejak dahulu. Tidak bisa tidak, Kampung Dangka harus ada.
Jalan-jalan di kampung Urang Kanekes
Orang Kanekes memberlakukan banyak pantangan bagi diri mereka sendiri, terutama pada hal-hal yang berbau modernitas. Ialah laku puasa mereka, membatasi diri, tahu diri.
Rumah-rumah mereka terbuat dari kayu, bambu, dan beratapkan rumbia. Tak boleh menggunakan batu bata atau semen. Jalan-jalan hanya beralaskan batu-batu yang disusun bertambal tanah atau pasir. Tidak beraspal, tidak berbeton. Tidak berlistrik, tidak berkompor gas. Bahkan sendok dan garpu berbahan logam pun terlarang dipunyai Urang Tangtu.
Tentu semua itu punya falsafah dan dengan perencanaan. Mereka sama seperti kita, manusia dengan logika. Beda di antaranya, anak-anak tak boleh bersekolah, karena pendidikan adalah tanggung jawab komunitas, bukan suatu lembaga tertentu. Kecerdasan bukan hal penting bagi Urang Kanekes, budi pekerti adalah yang utama. Bagi mereka budi pekerti harus mengalir mulus di dalam darah dan berdetak seiring degup jantung, bukan untuk dikerjakan di atas kertas lalu diberi nilai.
Sebagai petani, sebisa mungkin mereka menyimpan hasil panen padi mereka dan jika punya uang, memilih membeli beras dari kampung tetangga ketimbang mengonsumsi beras hasil panen sendiri. Sebab, padi sangat berharga bagi masyarakat Kanekes. Setiap ritual selalu melibatkan padi. Melalui padi pula manifestasi hubungan baik mereka dengan Bumi dijaga, manifestasi yang ingin terus diwariskan ke anak cucu mereka. Manifestasi yang menjadi tanda eksistensi. Sebab, kesalehan memang selalu menuntut bukti, siapa pun kita.
Perempuan-perempuan Kanekes sedang bertani
Sepertiga dari luas wilayah Kanekes adalah Hutan Larangan. Hutan yang dititipkan oleh leluhur mereka untuk dijaga dengan sebaiknya. Jika hutan ini rusak, maka semesta akan terguncang. Kehidupan seluruh umat manusia terancam. Akibatnya, hasil hutan diambil sangat sedikit saja, pun dengan syarat-syarat tertentu.
Syarat-syarat yang kadang tak masuk akal bagi orang luar. Sisanya dibiarkan apa adanya. Karena mereka percaya roh-roh leluhur tinggal di sana untuk menjaga manusia, maka sebaiknya mereka dibiarkan saja. Di sanalah berhulu berbagai sungai dan anak sungai yang mengaliri wilayah Kanekes. Hutan yang sejatinya terus memberi, namun tak pernah mereka curi. Suatu konsep purna tentang pelestarian yang telah lama digariskan dan begitu ditaati.
Ragam hasil hutan yang diambil dari Hutan Larangan tak banyak. Hanya beberapa pohon buah yang memang tumbuh secara alami serta beberapa jenis kayu untuk membangun rumah. Itu pun kayu dengan ukuran tertentu dan terletak di posisi khusus saja. Tak sembarang pohon bisa ditebang. Syarat dan ketentuannya ketat. Orang Kanekes tentu masih berburu dalam Hutan Larangan. Tapi jangan samakan kegiatan berburu ini seperti lazimnya dipraktekkan di tempat lain.
Berburu atau ngalanjak bagi Orang Kanekes adalah suatu ritual. Bagian dari laku keimanan. Digelar pada waktu yang telah ditetapkan saja. Tidak bisa semaunya.
Di pusat Hutan Larangan berdiri tempat tersuci bagi orang Kanekes, lazimnya disebut Sasaka Domas. Sasaka berarti jembatan, Domas diinterpretasikan keemasan. Itu adalah jembatan atau jalan yang akan menghantar manusia menuju kemuliaan. Jalan yang dapat digunakan pula sebagai upaya penebusan atau pertobatan atas hidup. Ibadah di Sasaka Domas dilakukan setahun sekali, setelah panen padi dan Seba selesai ditunaikan. Ritual yang oleh orang Kanekes dinamakan Muja.
Orang Baduy Dalam
Tak setiap manusia di Kanekes dapat berpartisipasi dalam Muja. Para pemimpin adat tentu wajib, tetapi rakyat biasa harus merasa “terpanggil” untuk melakukannya atau hanya jika mereka ingin melakukan suatu “penebusan”. Belum semua Urang Kanekes melakukannya. Ritual ini tertutup bagi yang tidak berkepentingan, terutama orang dari luar masyarakat Kanekes.
Mendatangi Sasaka Domas saja sudah sebuah larangan keras bagi orang luar, apalagi menghadiri Muja. Semua lelaki yang dinilai telah sanggup secara fisik, harus ikut dalam ritual ini. Semua binatang yang ditemui akan diburu. Dari mamalia besar seperti kijang, pelanduk, atau babi hutan hingga sekecil kelelawar dan tupai.
Ngalanjak tak selalu membawa hasil. Namun jika mendapatkan binatang buruan maka hasilnya akan dibagi ke semua orang. Binatang tadi dianggap sebagai berkah yang dicurahkan oleh roh-roh leluhur yang bersemayam di Hutan Larangan. Sebab, curahan berkah itu akibat ibadah bersama, maka hasilnya harus dinikmati secara bersama pula. Karena apalah arti makmur sejahtera tanpa sekelilingmu merasakan hal yang sama.
Demikianlah, masyarakat Kanekes adalah masyarakat yang merdeka sejak awal, yang paham bagaimana berbuat bijak dan berlaku bajik. Kita tak perlu ganggu kemerdekaan itu.