Home > Sorotan > Kegiatan Budaya >
Misa Lefa, Upacara Memulai Musim Menangkap Paus di Lembata
Misa Lefa, Upacara Memulai Musim Menangkap Paus di Lembata
Penangkapan baleo 'paus' merupakan wujud syukur masyarakat Lamalera atas berkah para leluhur dan mereka berusaha dengan sebaiknya memaknai pemberian Tuhan Yang Maha Esa yang tersedia untuk mereka. Karenanya, mereka bersikeras menggunakan istilah “menangkap”, bukan “berburu”.
Misa Lefa atau upacara pemberkatan untuk memulai musim penangkapan paus dihelat setiap tahun di awal bulan Mei oleh masyarakat Lamalera, NTT. Semua warga berkumpul di pantai, tempat peledang ‘perahu-perahu kayu’ diparkir. Para pemuka agama memimpin doa lalu memberkati segala hal yang berhubungan dengan penangkapan paus.
Musim penangkapan paus sendiri berlangsung selama enam bulan, antara Mei hingga Oktober. Di luar musim itu mereka menangkap ikan-ikan yang lebih kecil saja. Dengan hanya menggunakan metode tradisional, masyarakat Lamalera dikenal sebagai penangkap *baleo* ‘paus’ yang handal.
Meski begitu, tidak berarti mereka selalu berhasil menangkap sang ikan raksasa saat gerombolannya berpindah dari Samudera Pasifik menuju Samudera Hindia ataupun sebaliknya. Jika dihitung persentasenya, kegagalan lebih sering ditemui oleh para penangkap dibandingkan keberhasilannya. Tradisi menangkap paus orang Lamalera diberi nama Lefa Nuang.
Di malam sebelumnya Misa Lefa, masyarakat Lamalera melangsungkan misa arwah untuk mengenang para warga yang kehilangan nyawa saat menangkap baleo. Ya, menangkap paus memiliki risiko yang jauh lebih tinggi dibandingkan ikan biasa. Walaupun hanya pria yang telah dewasa yang diizinkan mengikuti regu penangkapan baleo, tetap saja sabetan ekornya dapat membinasakan manusia. Paus pun dapat menghantam badan perahu hingga hancur atau menyeretnya ke dalam laut.
Cerita-cerita tentang mereka yang tiada saat menangkap paus terekam kuat di memori. Untuk itu ribuan lilin dan lampion dihanyutkan ke Laut Sawu dalam misa arwah. Beberapa hari berselang, digelar pula Tobu Nama Fata, ritual rembukan untuk menyelesaikan berbagai persoalan yang sedang berlangsung di dalam masyarakat, dan Ie Gerek, ritual di “Batu Paus” untuk memohon restu dan berkah dari para leluhur.
Tinggal di pesisir dengan hamparan Laut Sawu sebagai pekarangan dan hanya cakrawala batasnya membuat masyarakat Lamalera sangat dekat dengan tradisi maritim. Mereka menyebut laut dengan penuh kasih sebagai Ina Lefa ‘Bunda Laut’. Tak heran jika kemudian mereka tak bisa lepas dari laut, karena menurut penelusuran beberapa peneliti, masyarakat Lamalera bermuasal dari Luwuk, daerah pesisir di bibir selatan Teluk Tomini, Sulawesi. Mereka bermigrasi akibat terjangan armada Majapahit yang terobsesi menguasai Nusantara. Bedanya tentu, jika sebelumnya para leluhur mereka hanya menangani Teluk Tomini yang cenderung tenang perangainya, kini mereka harus berhadapan dengan keganasan Laut Sawu.
Laut yang memang menjadi momok sejak dahulu, bahkan bagi para pelaut ulung. Namun, sepertinya orang Lamalera mampu beradaptasi. Mereka tak pindah lagi kemana pun. Tetap bermukim di teluk kecil yang terbentuk antara Tanjung Vovolatu dan Tanjung Nubivutun. Tetap dekat dengan ibundanya.
Penangkapan baleo pun merupakan wujud syukur mereka atas berkah para leluhur dan mereka berusaha dengan sebaiknya memaknai pemberian Tuhan Yang Maha Esa yang tersedia untuk mereka. Karenanya, mereka bersikeras menggunakan istilah “menangkap”, bukan “berburu”.
Pilihan tradisional masyarakat Lamalera banyak menuai kritik. Utamanya soal keberlanjutan pengelolaan kekayaan maritim. Laku mereka dianggap biadab dan usang oleh para pengkritik yang pasti abai membedakan perilaku tradisional dan industrial, yang terlalu pongah untuk bertanya apakah masyarakat Lamalera punya konsep keberlanjutan atau tidak, dan yang lengah menangkap makna kerja bersama yang hasilnya pun dinikmati semua. Termasuk anggota masyarakat yang berstatus janda dan yatim piatu.
Para pengkritik tak paham bahwa dalam menangkap baleo ada banyak syarat dan ketentuan. Paus yang sedang hamil atau masih muda tak mereka tangkap. Kedekatan dengan laut membuat masyarakat Lamalera mudah membedakan mana yang bisa ditangkap dan yang tidak.
Biasanya mereka hanya menangkap baleo jenis paus sperma (physeter microcephalus) atau paus pembunuh (orcinus orca). Paus biru (balaenoptera musculus) yang merupakan mamalia laut terbesar tak bisa mereka tangkap. Petuah leluhur melarang mereka menangkap paus biru, hal yang setia mereka patuhi hingga sekarang.
Meski tak lagi mendayung karena telah menggunakan motor bermesin, tetap saja masyarakat Lamalera paling banyak hanya dapat menangkap 8 hingga 12 ekor paus setiap musimnya. Berbeda dengan perburuan paus oleh salah satu negara maju yang mampu menangkap dan mengolah hingga 2 ekor ikan paus per hari.
Tangkapan paus di Lamalera pun tidak bersifat komersil, tidak untuk dijual. Mereka membutuhkan daging dan berbagai produk dari paus untuk kelangsungan hidup. Dagingnya akan mereka tukar dengan berbagai hasil pertanian dari masyarakat pertanian Lembata yang tak tinggal di pesisir.
Minyak paus dapat digunakan untuk penerangan dan pengobatan. Sisanya akan disimpan sebagai stok pangan sendiri. Menangkap baleo adalah sebuah tradisi yang jika dihilangkan akan menghapus jati diri masyarakat yang telah lekat mempraktikkannya sejak berabad-abad lamanya, menghilangkan keberdayaan mereka sebagai sebuah komunitas yang swasembada. Sebuah kemerdekaan yang jika ditiadakan akan menjadikan mereka masyarakat yang menghamba.