Logo Spektakel

Home > Sorotan > Komunitas >

Irama Nusantara: Hoarding Arsip dan Mimpi

Irama Nusantara: Hoarding Arsip dan Mimpi

Ibu selalu menunjukan kemarahannya melihat ayah saya senang mengumpulkan dan menyimpan barang-barang bekas. Ayah saya berkeyakinan, suatu hari nanti barang-barang itu akan berdaya guna. Bahasa kerennya; hoarding, yang juga dianggap indikasi gangguan jiwa - bentuk dari obsessive compulsive disorder (OCD).

Nama  Irama Nusantara adalah household name di kalangan pecinta musik Indonesia. Konsistensi dan persistensi mereka dalam mengumpulkan, mendigital, dan mengarsipkan musik populer Indonesia. Benihnya sudah ditanam sejak 1998 hingga pada 2013 mewujud menjadi entitas yang kita kenal saat ini. 

Dimulai dari premis klasik tentang sulitnya menggali informasi dari arsip, enam muda-mudi bersepakat untuk mendirikan lembaga pengarsipan swakelola. Adalah David Tarigan, Christoforus Priyonugroho, Toma Avianda, Alvin Yunata, Norman Illyas, dan Dian Wulandari yang bersepakat untuk berpetualang di dunia pengarsipan musik populer Indonesia.

Melalui website mereka, publik dapat mengakses secara gratis arsip berdasarkan filter Rilisan, Label, Artis, serta Pustaka. Dikutip dari laman website, Irama Nusantara mengatakan bila masih banyak fitur website yang belum terimplementasikan. Membangun fitur website yang interaktif, terlebih dengan database yang besar memang bukan investasi murah.

Saya koreksi; berurusan dengan kerja pengarsipan memang bukan investasi murah.

Dalam website Irama Nusantara, pengunjung dapat mengakses arsip digital musik populer Indonesia yang dirilis dari era 1920-an hingga 2000-an. Hingga tulisan ini dirilis, terdapat 5.239 rilisan, 47.987 lagu, dan 253 pustaka dalam bentuk digital seputar musik populer Indonesia yang sudah diarsipkan dan dapat diakses publik gratis secara online. (Foto: Radar Banten)

Nun jauh di tanah Eropa, sebuah lembaga bernama Institut National de l’Audiovisuel atau INA, yang ditugaskan oleh Undang-undang untuk melakukan kerja preservasi dan pengarsipan warisan audiovisual Perancis. Lembaga ini didirikan tahun 1975, dengan tiga tugas fungsi utama; koleksi, proteksi, serta pengelolaan & pengembangan arsip audiovisual. 

Bila dipadu-padankan, kompatriot mereka di Indonesia adalah Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI) yang secara de facto sudah ada sejak 28 Januari 1892, ketika Pemerintah Hindia Belanda mendirikan Landarchief dan secara yuridis, keberadaan lembaga kearsipan Indonesia dimulai sejak diproklamasikan kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945.

Lebih tua bukan berarti lebih dewasa. Pola pikir dan cara kerja antara INA dengan ANRI tak dapat disandingkan. Penulis beruntung pernah berkunjung ke fasilitas INA dan berdiskusi dengan beberapa individu kunci di sana. Mereka menjelaskan bila INA juga dituntut untuk membuat sebuah bisnis model yang berkelanjutan dari metode kerja serta materi arsip yang mereka miliki.

INA berperan sebagai pusat penelitian dan inovasi. Mereka membuat produk perangkat keras dan lunak sendiri untuk mengelola dan mengeksploitasi data dalam jumlah besar, yang memungkinkan akses ke sistem canggih di bidang ini (AI, sistem informasi, mesin pencari, dll.). 

Terakhir kali saya ke ANRI, urusan mereka masih fotokopi dan duplikasi rekaman berbayar secara manual dengan mengisi formulir secara manual juga.

*****

Tak bisa dimungkiri, sosok David Tarigan menjadi pusat semesta Irama Nusantara, setidaknya bagi publik. Sosok prominent di kalangan skena musik nusantara, David kerap disebut “kamus musik berjalan” – walau dia sedang duduk sekalipun. 

Latar para penggagasnya dari dunia seni rupa, membuat Irama Nusantara bak seni kontemporer menurut David Tarigan. Baginya kemungkinan bentuk aktivitas dan model bisnis Irama Nusantara tak terbatas. Namun, hal itu juga menjadi tantangan tersendiri ketika mesti mendefiniskan identitas mereka di publik umum. (Foto: Dok. Spektakel)

Saya dan co-founder Spektakel, Shuli, mengunjungi David di kantor Irama Nusantara yang baru di Komplek Ruko Golden Plaza Fatmawati. Ditemani koleganya, Gerry, berempat kami ngobrol panjang tentang situasi Irama Nusantara hari ini.

Di tahun 2020, mereka merilis kabar bila Irama Nusantara dalam kondisi kritis dan sangat mungkin akan tutup operasional. Pandemi menjadi katalis sempurna untuk menguji siasat bertahan Irama Nusantara. Dalam perbincangan kami, David berujar bila mereka masih mereka-reka strategi maslahat Irama Nusantara. 

“Apa yang menjadi ideal (untuk Irama Nusantara) kami masih mencari. Arahan kami bukan komersial, hal itu mempengaruhi cara berpikir kami tentang bagaimana arsip-arsip ini kami sajikan di website kami. Kami tidak ingin website terlihat seperti produk komersial”, jelas David.

Kantor Irama Nusantara seperti mesin waktu. Berkunjung ke sini, kami seperti di bawa maju-mundur dalam mesin waktu. Rilisan fisik dari berbagai bertemu dengan deretan teknologi analog dan digital untuk keperluan kerja pengarsipan mereka. (Foto: Whiteboard Journal)

Sulit ditangkal, entitas semacam Irama Nusantara umumnya lahir dari gairah darah muda yang keterusan menjadi jalan hidup. David sendiri mengakui hal tersebut. Ia dengan teman-temannya mendirikan Irama Nusantara sebagai alat untuk “menyibak misteri” artefak-artefak sejarah musik Indonesia.

“Kadang kami sulit mendeskripsikan diri kami (Irama Nusantara) itu apa? Kadang untuk menyederhanakan saja, kalau ditanya Irama Nusantara itu apa, kami jawab saja; yayasan," ujarnya sambil tergelak. 

Latar belakang para penggagas Irama Nusantara sendiri adalah mahluk-mahluk seni rupa yang suka musik. 

Sambil terbahak, David berujar, “Buat kami, Irama Nusantara itu adalah seni rupa kontemporer!”

*****

Di Indonesia, ada satu lembaga yang melakukan kerja pengarsipan film. Namanya Sinematek Indonesia, bagian dari Yayasan Pusat Perfilman Haji Usmar Ismail, di bilangan Rasuna Said, Jakarta. Sudah lama Sinematek Indonesia menjadi soal pelik di perfilman Indonesia. Tarik urat kepentingan individu serta kelompok, hingga soal politik partisan selalu mewarnai obrolan tentang lembaga ini.

Di saat bersamaan, ratusan kaleng seluloid, beberapa di antaranya terdapat karya klasik sutradara masyur Usmar Ismail dan Teguh Karya, disimpan berdesakan dalam rak-rak bawah tanah yang lembab. Salah satu pendingin udara ruangan itu tak berfungsi dan tak pernah diperbaiki. Pun peralatan untuk membersihkan seluloid secara berkala hanya seadanya. Sinematek Indonesia merupakan satu-satunya lembaga pengarsip film populer di Indonesia. Lembaga nirlaba tersebut didirikan pada 1975 oleh Misbach dan S.M Ardan sebagai kelanjutan proyek yang digagas Dewan Kesenian Jakarta. Gubernur Jakarta kala itu, Ali Sadikin, mengendus rencana para seniman tersebut dan lantas menyediakan pendanaan dari kas Pemerintah DKI untuk mewujudkannya.

Baca Juga: Slamet Menur; Arsip Harus Hidup

Kisah di atas sekadar gambaran kecil sengkarutnya perkara pengarsipan di Indonesia. Nada sumbang yang klise minta ampun. Visi tentang arsip-arsip tersebut sebagai artefak peradaban belum jadi pondasi kuat, apalagi misi kemaslahatan kerja dengan membangun model bisnis yang berkesinambungan – jauh dari tempat tujuan.

Gairah Irama Nusantara dalam melakukan kerja-kerjanya sebagai misi “pribadi-pribadi dalam menyingkap misteri (sejarah) musik populer Indonesia”, mengingatkan saya akan seniman sepuh di Banyuwangi, Slamet Menur.

Pak Slamet pernah menjadi tangan kanan Mochammad Arif, maestro pencipta lagu "Genjer-genjer" yang masyur itu. Tahun 2008 Pak Slamet memproduksi rekaman dengan biaya mandiri kompilasi lagu Banyuwangi era tahun 1950 hingga 1960-an, hasil ciptaan teman-teman seangkatannya, seperti Fatra Abal, Endro Willis, dan Andang CY. Pak Slamet mencetak 4.500 kaset dengan harapan masyarakat Banyuwangi bisa memiliki arsip lagu-lagu lokal Banyuwangi.

Kerja pengarsipan Irama Nusantara tak bisa dipisahkan dari kerja-kerja alih wahana dari bentuk fisik ke bentuk digital. Hal ini bukan hanya menantang secara teknologi dan infrastruktur untuk dikembangkan, tetapi juga secara regulasi. Hukum Hak Kekayaan Intelektual di Indonesia yang maasih serba abu-abu membuat Irama Nusantara masih mereka-reka strategi yang paling sesuai untuk kemaslahatan entitasnya pun fair bagi pemilik karya asli. (Foto: Dok. Irama Nusantara)

Pak Slamet merogoh koceknya hingga Rp45 juta dan malang menimpanya ketika sejawatnya tega menipu beliau mentah-mentah. Kala itu format kaset mulai ditinggalkan masyarakat dan beralih ke Compact Disc (CD), Sejawatnya menawarkan Pak Slamet jasa untuk mengalihkan medium rekaman dari pita ke CD dengan biaya 25 juta. Uang tersebut dibawa kabur dan bukan hanya barang tidak Ia dapat, tetapi juga menghambat rencananya untuk membuat rilisan ke-2.

*****

“Tiap saat, selalu ada orang yang datang ke kami untuk melakukan riset berdasarkan arsip-arsip yang kami miliki. Orang-orang dari berbagai industri; fashion hingga teknologi. Arsip-arsip ini menjadi data krusial untuk memahami masa lampau untuk membuat prediksi masa depan”, jelas staf INA ketika saya berbincang di kantor mereka. 

INA juga memiliki platform berbasis website, INA Mediapro, yang menyediakan katalog koleksi arsip audiovisual hingga pelatihan dan jasa riset serta konsultasi. Platform ini dibuat sebagai perangkat bisnis komersil yang menjadi sumber pendapatan lembaga secara profesional.

Kepentingan sosial, pendidikan dan bisnis bisa dipadukan menggunakan rancangan strategis yang mumpuni. Irama Nusantara bukan tidak memikirkan hal tersebut. Proses yang mereka jalani satu dekade ini memberikan pengetahuan dan pengalaman yang tidak sedikit. Mungkin karena itu pula, Irama Nusantara bersikap realistis dalam menjalankan misi mereka.

David Tarigan, satu dari enam penggagas Irama Nusantara. Bermula dari kesenangan dan rasa penasarannya bersama teman-teman, institusi yang ia bangun kini menjadi salah satu motor pengarsipan budaya populer Indonesia. Meski dengan tertatih-tatih, berbagai model monetasi pengetahuan dari kerja-kerja pengarsipan ia jalankan bersama timnya dalam perjalanan mencari titik kesinambungan antara kepentingan publik dan keberlanjutan entitas. 

“Kami selalu mencari formulanya secara organik, dengan keterlibatan Irama Nusantara di berbagai kegiatan. Misalnya, ketika Irama Nusantara menjadi steering committee dari Hello Dangdut di tahun 2018, diminta Badan Ekonomi Kreatif, memberikan kami pemahaman bila modus kerja seperti itu ternyata bukan yang kami butuhkan”, jelas Gerry.

Apapun itu, Irama Nusantara masih khidmat dengan kerja-kerja digitalisasi dan pengarsipan musik populer Indonesia. Bantuan dari sana-sini tetap berdatangan – dalam berbagai bentuk. Kawan berbincang untuk menumpahkan kegelisahan selalu ada, dan mimpinya tetap dijaga sembari waspada sekiranya aktivitas hoarding mereka malah dianggap sebagai obsessive compulsive disorder.