Logo Spektakel

Home > Sorotan > Kegiatan Budaya >

Kampung Jawa Di Paris

Kampung Jawa Di Paris

Tahun 1889 menjadi peringatan 100 tahun Revolusi Prancis, dan negara tersebut merayakannya dengan mega-event Exposition Universelle de 1889 di Paris. Salah satu penanda epik perhelatan ini adalah pembangunan Menara Eiffel yang didirikan khusus untuk acara tersebut. Indonesia yang pada saat itu notabene bagian dari koloni Belanda, hadir di Paris sebagai “rombongan sirkus” dari tanah eksotis. Rombongan pemusik gamelan serta penari Jawa, ditaruh di ‘Village Javanais’ alias Kampung Jawa.

Dilaksanakan dari tanggal 6 Mei hingga 31 Oktober 1889, perhelatan ini mendatangkan lebih dari 32 juta pengunjung dari seluruh dunia. Dilaksanakan di dua lokasi utama, Champs de Mars sebagai pusat pameran – termasuk lokasi Menara Eiffel, di mana program Palace of Machines, serta the Palaces of Fine Arts & Liberal Arts dilangsungkan.

The esplanade of Les Invalides, venue yang lebih kecil menjadi tempat paviliun koloni Prancis. Bagian ini menampilkan berbagai macam restoran dan kafe luar ruangan dengan makanan dari Indochina, Afrika Utara, dan masakan lain dari seluruh dunia. 

Champ de Mars, Paris, 1889.

Paviliun kolonial menyampaikan “multikulturalisme” koloni Prancis, yang terbesar di antaranya adalah Palais Central des Colonies, yang dirancang oleh Stephen Sauvestre, yang juga berkontribusi pada desain Menara Eiffel. Eksposisi ini memamerkan konstruksi desa yang dihuni oleh penduduk asli koloni, untuk diamati oleh pengunjung. Orang-orang jajahan memperlihatkan kehidupan sehari-hari mereka untuk pengunjung. Semacam tontonan “Kebun binatang tetapi berisikan manusia.”

Samba Lawbé Thiam, seorang perajin perhiasan dari Senegal yang menjadi bagian dari Pameran 1889, mengatakan sebagai berikut:

"Kami sangat malu dipamerkan seperti ini, di gubuk-gubuk seperti orang biadab; gubuk-gubuk jerami dan lumpur ini tidak memberikan gambaran tentang Senegal. Di Senegal ... kami memiliki gedung-gedung besar, stasiun kereta api, rel kereta api; kami menyalakannya dengan listrik…"

Lokasi "Central African habitation".

Kampung Jawa Di Paris

Indonesia yang pada saat itu notabene bagian dari koloni Belanda, hadir di Paris sebagai “rombongan sirkus” dari tanah eksotis. Rombongan pemusik gamelan serta penari Jawa, ditaruh di ‘Village Javanais’ alias Kampung Jawa.

Dari perspektif pascakolonial, Kampung Jawa di Paris Exposition Universelle tahun 1889, mencerminkan praktik Barat dalam menampilkan masyarakat dan budaya terjajah sebagai objek rasa ingin tahu dalam kerangka kekuasaan imperial. Desa Jawa yang dibangun dengan cermat untuk menyerupai dunia yang eksotis dan jauh, dimaksudkan untuk menonjolkan "keunikan" penduduknya, memperkuat narasi kolonial tentang superioritas Eropa dan keterbelakangan wilayah yang dijajah. 

Penduduk asli Tierra del Fuego (Argentine Patagonia), dibawa ke Paris oleh pengusaha minyak ikan paus asal Belgia, Maurice Maître, untuk "keperluan pameran". Foto oleh Adolfo Kwasny, Punta Arenas, Chile.

Acara ini mengkomodifikasi budaya Jawa untuk konsumsi Eropa, dengan penduduk desa menjalankan aktivitas sehari-hari sambil diamati layaknya pameran hidup, yang memperkuat stereotip bahwa masyarakat pribumi adalah primitif, statis, dan hanya bisa dipahami melalui sudut pandang kolonial.

Pada saat yang sama, representasi budaya Jawa dikendalikan sepenuhnya oleh otoritas kolonial, menghilangkan konteks dan kompleksitas aslinya. Yang ditampilkan adalah gambaran selektif yang sering kali romantis, sesuai dengan harapan orang Eropa tentang "Orient" yang misterius, eksotis, dan tidak beradab. 

Otonomi dan identitas penduduk desa ditekan, karena mereka dipaksa untuk mempertunjukkan kehidupan dan tradisi mereka di bawah pengawasan audiens Barat, menjadikan mereka sekadar simbol imajinasi kolonial daripada mengakui warisan budaya mereka yang kaya sebagai kontributor setara bagi peradaban global.

Village Javanais di Exposition Universelle de 1889.

Meskipun berada dalam bingkai yang merendahkan, para musisi gamelan dan penari Jawa tetap berhasil memukau audiens dengan keanggunan dan kompleksitas pertunjukan mereka. Pertunjukan mereka menampilkan tradisi seni yang halus dan mendalam, yang melampaui bingkai kolonial yang reduktif. Irama gamelan yang rumit, dipadukan dengan gerakan penari yang anggun, mampu memukau penonton Eropa, menunjukkan ekspresi budaya yang canggih yang tidak sepenuhnya bisa dikendalikan oleh lensa kolonial. Pertunjukan mereka, meskipun berada dalam konteks eksploitasi, menjadi bukti kekuatan dan keindahan seni Jawa yang mampu menembus batas-batas kolonialisme dan meninggalkan kesan mendalam pada penonton Barat, termasuk tokoh berpengaruh seperti Claude Debussy.

Claude Debussy komposer muda yang kala itu berusia 27 tahun, kerap mengunjungi berbagai pameran dari perhelatan ini. Salah satu yang paling memukau hatinya adalah musik gamelan dan tarian yang mengiringinya di Kampung Jawa. Pengalaman tersebut kemudian menginspirasi Debussy untuk menangkap suara gamelan dalam komposisi piano berjudul Pagodes pada tahun 1903.

Claude Debussy.

Pada masa itu, representasi tentang eksotisme sudah populer dalam karya-karya musik dan panggung, dengan karakter, cerita, tari-tarian, dan musik yang mencoba meniru budaya-budaya asing. Namun, Exposition Universelle 1889 untuk pertama kalinya membawa musik eksotis yang autentik ke hadapan para pengunjung. Seorang musisi dan sarjana, Julien Tiersot, yang menjadi saksi mata, terpesona oleh keajaiban dan signifikansi pertunjukan tersebut:

“Roma kini tidak lagi di Roma; Kairo tidak lagi di Mesir, demikian pula pulau Jawa tidak lagi berada di Hindia Timur. Semua itu kini telah hadir di Champ de Mars... Tanpa meninggalkan Paris, selama enam bulan kita bisa mempelajari, setidaknya melalui manifestasi eksternalnya, kebiasaan dan adat istiadat dari masyarakat yang jauh... Musik, di antara semua manifestasi ini, adalah yang paling mencolok... Yang paling menarik dari semuanya dan yang paling baru bagi kami, di desa Jawa, adalah sebuah tontonan tarian sakral yang diiringi oleh musik yang sangat aneh, yang membawa kami sejauh mungkin dari peradaban kami.”

Kampung Jawa  dikunjungi hampir satu juta orang. Di pintu masuknya terdapat dua menara tinggi dengan atap berlapis-lapis mirip pagoda. Tenda-tenda melindungi sebuah desa tempat sekitar enam puluh penduduk Jawa tinggal dan melakukan kegiatan sehari-hari yang dapat dilihat oleh pengunjung, seperti membersihkan rumah, memasak, menenun kain, membuat batik, mengukir alat-alat bambu, dan membuat perhiasan. Prosesi penduduk kampung yang memainkan gendang tangan dan angklung mengiringi para pengunjung menuju paviliun terbuka di mana pertunjukan musik dan tari digelar setiap hari.

Debussy adalah salah satu dari banyak pengunjung yang berkali-kali kembali ke pameran ini. Temannya, Robert Godet, menangkap ketertarikan Debussy:

“Banyak waktu yang berharga bagi Debussy dihabiskan di kampung Jawa bagian Belanda, mendengarkan kompleksitas ritme perkusif gamelan dengan kombinasi timbre yang tak pernah habis, sementara dengan para Penari yang luar biasa, musik tersebut menjadi hidup secara visual. Menafsirkan sebuah mitos atau legenda, mereka berubah menjadi bidadari, peri, dan penyihir. Melambai seperti bulir jagung di ladang, membungkuk seperti alang-alang atau bergetar seperti merpati, atau terkadang kaku dan hieratik, mereka membentuk prosesi berhala atau, seperti hantu yang tidak nyata, melayang di arus gelombang imajinasi. Tiba-tiba, mereka terbangun dari kelambanan mereka oleh dentuman gong yang menggema, dan kemudian musik berubah menjadi semacam galop metalik dengan ritme silang yang membuat napas tercekat, diakhiri dengan kembang api dalam bentuk aliran melodi yang melayang. Para Penari kemudian tetap bergaya di udara seperti amazon yang ketakutan, mempertanyakan momen yang berlalu, rahasia cinta dan kehidupan. Namun mereka hanya menjadi amazon sebentar; kini mereka adalah makhluk air atau burung atau gadis bunga yang menenun karangan bunga, atau kupu-kupu dengan semua warna pelangi. Sebuah runingan seruling terdengar dan setiap Bedaya mengepakkan sayapnya, atau mengepakkan kelopaknya, dan sekali lagi mereka hidup dalam ritme, memberi penghormatan kepada dewa tersembunyi mereka.”

Penari Jawa di Exposition Universelle de 1889, Paris.

Banyak pengunjung ingin mengingat musik yang mereka dengar selama perhelatan berlangsung. Di era sebelum teknologi perekaman modern, transkripsi adalah cara yang umum dan populer untuk mengenal musik dari berbagai jenis. 

Selama bertahun-tahun setelahnya, transkripsi piano dari musik eksotis diterbitkan dan dijual. Claude Debussy juga mengingat musik gamelan yang ia dengar. Elemen-elemen gamelan muncul dalam banyak komposisinya sejak saat itu. Salah satu karya pianonya, Pagodes, tetap menjadi karya paling terkenal yang menangkap gamelan dalam repertoar musik Barat. Debussy tidak membuat transkripsi dari apa yang ia dengar di perhelatan itu. Ia juga tidak menulis risalah akademis tentang musik gamelan. Namun, melalui komposisinya, ia memberikan pemahaman yang mendalam tentang musik tersebut.

Musik gamelan dibangun dari lapisan melodi yang terjalin. Cara memainkannya dinamis namun seimbang, dan heterofoni yang seimbang di antara berbagai melodi ini mencerminkan masyarakat Jawa, di mana perilaku yang terkendali dan interaksi yang halus sangat dihargai. Dalam sebuah studi berjudul Folk Song Style and Culture, Alan Lomax menggambarkan masyarakat “Old High Culture” ini sebagai:

“Dunia yang sangat terstratifikasi, di mana nasib setiap individu bergantung pada hubungannya dengan struktur di atasnya, di mana ia terkekang dalam sistem stratifikasi sosial yang kaku, dan di mana kelangsungan hidupnya bergantung pada kemampuannya menguasai sistem etiket yang sopan... Dalam musik, ada hubungan yang kuat antara peningkatan lapisan... dan elaborasi... Ukuran lain dari peningkatan formalitas sosial adalah kompleksitas orkestra.”

Yang menyatukan, bahkan mengendalikan, semua elemen musik gamelan adalah penekanan ritmis yang dikenal sebagai struktur kolotomis. Arsitektur ritmis ini selalu mencakup frasa gong besar (gongans) dan frasa yang lebih kecil dengan panjang setengah dan seperempat, dengan frasa dan subdivisinya selalu berlangsung dalam kelompok empat ketukan (gatras). Ahli etnomusikologi, Judith Becker, menjelaskan struktur besar dan subdivisi elaboratif ini dalam kaitannya dengan filosofi Jawa:

“Ketertiban dan keteraturan ini mencerminkan alam semesta yang teratur. Musik gamelan tradisional baik disetujui oleh surga, maupun menyetujui surga, yang menghasilkan konservatisme musikal yang diwujudkan dengan kepatuhan ketat terhadap unit-unit empat ketukan, yang dapat dikalikan atau dibagi, hubungan musikal yang telah tetap selama lebih dari seribu tahun.”

Rombongan pemusik gamelan dan penari di Exposition Universelle de 1889 Paris.

Meskipun Paris Exposition Universelle 1889 memperlihatkan budaya Jawa (dan tanah jajahan lainnya) dalam bingkai kolonial yang penuh distorsi, kehadiran para seniman Jawa dengan gamelan dan tarian, membuktikan bahwa seni mampu melampaui batas-batas dominasi kekuasaan. Seni gamelan dan teater tari Jawa, dengan keindahannya yang kompleks, berhasil menembus stereotip primitif yang dipaksakan oleh kolonialisme dan justru menginspirasi dunia Barat.

Pengaruhnya bahkan terekam dalam karya-karya besar komposisi Claude Debussy, membuktikan bahwa warisan budaya dari tanah Jawa memiliki kekuatan yang abadi dan tak dapat direduksi oleh batasan politik maupun kolonial. Ini menjadi pengingat bahwa meskipun budaya terjajah sering diposisikan sebagai objek eksploitasi, kekuatan artistiknya tetap mampu menginspirasi dan memperkaya peradaban global.

Sumber: