Sejak lama, Primagung Dary Riliananda tertarik dengan jalur-jalur kereta di Pulau Jawa. Ia pun mulai menjawab rasa penasarannya, salah satunya dengan menelusuri jejak jalur kereta api industri (decauville) yang dulu menyokong operasional produksi beberapa pabrik di masa Kolonial Belanda. Kini jalur-jalur itu berubah wujud menjadi jalan atau permukiman.
Saya selalu penasaran dengan jalur kereta api industri (decauville) di Indonesia. Akhirnya saya menelusuri sebuah peta buatan awal abad ke-20 dan rasa penasaran saya kian mendalam. Utamanya menyangkut konteks sejarah decauville yang erat berkaitan dengan tebu dan kayu jati yang pada zaman Pemerintah Kolonial Belanda.
Ada banyak jalur decauville yang tersebar di Pemalang dan daerah sekitarnya seperti Kendal, Pati, Tegal, Pekalongan, dan Brebes. Kini, kebanyakan sudah tidak aktif. Bekasnya berubah menjadi jalanan dan permukiman. Sebagian lainnya dibiarkan dengan ratusan patok sebagai penanda.
Sebelumnya saya sudah memulai penelusuran tentang decauville dan jejak-jejak pabrik gula di Pemalang. Bermula dari rasa penasaran, akhirnya ini menjadi proyek pribadi yang meluas ke daerah lain.
Rel decauville di bekas Pabrik Gula Jatibarang, Brebes. Meski telah lama berhenti beroperasi menggiling tebu, area ini masih sering disambangi para turis ataupun bekas pegawai yang kini dipindahtugaskan ke pabrik lain.
Maka tentu saja saya juga mampir ke bekas Pabrik Gula Jatibarang (PG Jatibarang) di Brebes, salah satu pabrik tertua di Jawa. PG Jatibarang dibangun oleh perusahaan swasta Belanda, NV Mijtot Exploitile der Surker Onderneming pada tahun 1842, hingga akhirnya nonaktif pada 2017.
Apa pasal kereta decauville berkaitan erat dengan tebu, kayu jati, dan pabrik-pabrik gula di Jawa tempo dulu? Pada dasarnya, decauville adalah infrastruktur pabrik yang dibuat untuk memudahkan transportasi bahan baku pabrik, utamanya dalam pengangkutan tebu dan kayu jati.
Pada zaman itu, jutaan kubik kayu dibutuhkan untuk menggerakkan mesin di lima pabrik gula di Pemalang. Selain itu, Belanda juga butuh pasokan kayu jati untuk membangun sarana dan prasarana perang. Maka decauville dirancang untuk menjawab kebutuhan sistem transportasi yang ringan, fleksibel, dan efisien untuk mengangkut keduanya.
Bekas alat produksi yang dulu digunakan untuk mengolah tebu menjadi gula pasir di Pabrik Gula Jatibarang.
Perjalanan saya ke PG Jatibarang waktu itu ditempuh sekira setengah jam berkendara dari Kota Tegal. Melewati hiruk pikuk pedagang burung di Pagongan, kemacetan pertigaan Banjaran yang makin menjadi saat jam pulang kerja, juga harum bau teh yang menyeruak dari dalam pabrik teh ternama di Slawi.
Saya tiba di pintu masuk sekitar tengah hari. Dari depan, pabrik ini masih nampak terawat walau sudah beberapa tahun tidak aktif sejak giling tebu terakhirnya. Semua asetnya yang masih tersisa kini dijadikan cagar budaya sekaligus tempat wisata.
Begitu masuk, hawa panas dan lembab baru terasa. Saya berkeliling dan melihat-lihat sisa peralatan yang masih ada, mulai dari mesin giling hingga roda gigi besar yang digunakan untuk menghidupkan mesin. Rata-rata mesinnya dibuat di Breda, Belanda. Semuanya masih asli sejak pertama kali digunakan pada 1842.
Di sini saya juga berkesempatan mengobrol dengan mantan pegawai Pabrik Gula Jatibarang. Jaelani namanya. Kehadiran Jaelani menarik perhatian saya yang kala itu tengah asyik memotret. Ia terlihat begitu asyik memancing di telaga yang dulunya adalah kolam di dalam pabrik yang dulu digunakan untuk menampung air bersih dan saluran irigasi.
Jaelani saat tengah memancing di Telaga Mina Ki Carman. Setelah pabrik berhenti beroperasi, kolam bekan penampungan air pabrik dan saluran irigasi ini awalnya diniatkan jadi kolam pemaningan. Namun, karena usahanya tidak berjalan, kini kolam itu dipancing untuk kebutuhan sendiri.
Rupanya, saat masih bertugas di Jatibarang ia sempat diberikan tanggung jawab untuk mengurus kolam bernama Telaga Mina Ki Carman, di samping tugas utamanya mengurusi aset truk dan mobil milik pabrik.
"Waktu itu, telaganya sempat mau dibikin wisata air, Mas. Daripada dibiarin gitu aja. Saya juga kasih ikan macam bawal sama mujair sama temen-temen supaya bisa jadi pemancingan. Sekarang malah nggak jalan, ikannya saya pancing sendiri sama teman-teman kalau libur," katanya.
Jaelani dan kawan-kawan bekas pegawai PG Jatibarang memang masih sering mampir ke sana untuk sekadar menyambangi beberapa rekan. Meskipun pabrik ini sudah tak beroperasi menggiling tebu, tetapi penanaman tetap berlangsung di kebunnya. Namun,hasil tanam di lahan PG Jatibarang kini digunakan sebagai bahan baku untuk penggilingan di Pabrik Gula Pangkah tempat Jaelani bertugas sekarang.
PG Pangkah adalah salah satu pabrik gula terdekat dari PG Jatibarang. Setelah PG Jatibarang berhenti beroperasi pada 2017, banyak pegawainya yang kemudian dipindah tugaskan ke Pangkah. Pilihan lainnya adalah ke Tersana Baru di Babakan, Brebes.
Bangunan bekas garasi kereta decauville di Pabrik Gula Jatibarang. Garasi kereta ini termasuk salah satu yang tertua dan terbesar di Pulau Jawa.
Lapuk Perlahan
Ketika pabrik gula berhenti beroperasi, kerap kali yang terdampak bukan hanya para pegawai seperti Jaelani. Keberadaan pabrik gula di suatu desa sering kali menjadi sebuah pusat peradaban bagi warga di sekitarnya. Tidak hanya menawarkan mata pencaharian sampingan bagi warga sebagai tukang angkut atau bala bantuan operasional cadangan, kegiatan di pabrik juga kerap melahirkan budayanya sendiri.
Semisal perayaan panen tebu dan pesta giling yang erat dengan kehidupan warga desa di sekitar pabrik gula. Ketika operasional pabrik berhenti, praktis peluang ekonomi tambahan dan tradisi yang ada juga terkena imbasnya. Akibatnya, desa menjadi sepi dan aset-aset pabrik akhirnya terbengkalai.
Salah satu warga di sana menceritakan bagaimana PG Jatibarang lapuk perlahan. Rumahnya berada persis di selatan pabrik. Kereta tebu yang dulunya sempat dijadikan wahana wisata, ternyata sudah tak beroperasi sejak 2021. Sedikit demi sedikit besi-besi kereta, lori, dan bangunan pabrik juga dipreteli untuk diloakkan atau dijadikan kanibal untuk memperbaiki komponen pabrik lain.
Sejak berhenti beroperasi, ada beberapa usaha yang dilakukan oleh pengelola untuk melestarikan Pabrik Gula Jatibarang selain memanfaatkan kebunnya sebagai sumber bahan baku pabrik gula lain di sekitar. Salah satunya dengan menjadikan tempat ini tempat wisata sekaligus cagar budaya.
Saat bercakap-cakap dengan mereka, ingatan saya langsung melayang ke momen yang terjadi dua tahun lalu, saat saya datang dan berkeliling di area PG Jatibarang untuk kali pertama. Hal yang paling menarik perhatian saat itu adalah remise atau garasi lokomotif. Remise Jatibarang cukup terkenal di kalangan pegiat kereta api karena termasuk salah satu yang terbesar dan termegah secara seni arsitektur.
Bangunan remise dibuat melingkar dan mampu menyimpan lebih dari sepuluh lokomotif. Sementara di bagian depan terdapat meja putar untuk membalik arah lokomotif. Saat sedang asyik memperhatikan bagunan remise saya lantas dikejutkan suara lokomotif dari luar.
Saat itu, kereta api tebu yang disulap jadi salah satu wahana wisata di PG Jatibarang masih beroperasi. Meskipun rutenya sudah semakin pendek, hanya memutari emplasemen yang panjangnya sekitar empat kilometer pulang-pergi.
Namun bagi saya itu cukup menjawab rasa penasaran saya tentang sensasi naik kereta tebu. Maka saya langsung menuju loket untuk membeli tiketnya. Apalagi tiketnya hanya Rp10.000 saja. Ndilalah, rupanya saya termasuk salah satu pengunjung terakhir yang menjajal wisata tersebut karena kini kereta itu rupanya sudah berhenti beroperasi.