Logo Spektakel

Home > Sorotan > Situs >

Masa Keemasan Tembakau di Purbalingga (Bagian I)

Masa Keemasan Tembakau di Purbalingga (Bagian I)

Ada masanya Purbalingga menjadi salah satu sentra penghasil tembakau. Pada masa kolonial Belanda, kota kecil ini menyumbang 37% dari total ekspor tembakau Karesidenan Banyumas ke Belanda pada 1904. Pada periode ini, Purbalingga juga merupakan lokasi dua dari empat pengusaha perkebunan tembakau di Karesidenan Banyumas. Jejak puncak kejayaan Purbalingga sebagai kota penghasil tembakau kelas wahid tercatat dalam perjalanan PT. Gading Mas Indonesian Tobacco (GMIT)

Hujan yang turun di bulan Agustus menjadi sapaan Dewi Fortuna bagi Gading Mas Indonesian Tobacco (GMIT). Panen tembakau akan sesuai harapan jika hujan menyapa meski setelahnya hari-hari akan kering kembali. Cuaca seperti ini berpengaruh pada hasil panen. Daunnya lebar, tipis, lentur dan tidak banyak mengandung garam - daya bakarnya pun sangat baik. Para mantan pegawai gudang afpak tembakau menyebutnya sepertinya "wulu kalong"atau bulu halus atau rambut halus yang tumbuh di sekitar leher belakang atau tengkuk leher. Inilah kualitas tembakau yang paling dicari Pasar Bremen sebagai bahan pembuatan cerutu.

GMIT sejak awal mengkhususkan diri pada bahan cerutu, sejak masih bernama Tanaka Export Indonesian Company (TEIC). Nama GMIT Cabang Banyumas tersemat sejak 1970. Anak cabang yang sama dengan GMIT Jember, Lumajang, Banyuwangi dan Ujungpandang (Makassar). Dari kesemuanya, hanya GMIT Jember yang bertahan. Meski kemudian pada 2015 resmi mengundurkan diri dari tembakau dan mengganti nama menjadi Gading Mas Indonesia Teguh yang bergerak di bidang agribisnis.

Sebagian saham GMIT Cabang Banyumas diduga milik Jenderal M. Yusuf. Kegiatan operasionalnya dilakoni di bekas pabrik pengolahan tembakau Kandang Gampang. Bangunan ini sejak era kolonial terkait erat dengan tembakau. Dalam Cultuuradresboek 1937 bahkan tercatat N.V. Tabak Export & Import Co. milik perusahaan Belanda yang berpusat di Kota Malang ini telah menduduki bangunan pabrik Kandang Gampang. Saat itu administrator yang ditugaskan adalah G.J. den Hartog.

Iklan Tembakau Van Nelle salah satu perusahaan tembakau yang mendirikan pabriknya di Purbalingga, cikal bakal berdirinya PT GMIT yang jadi penanda masa keemasan industri tembakau di kota tersebut.

GMIT mengolah tembakau jenis Na-Oogst setipe tembakau Vosterlanden yang menjadi komoditas utama. Bukan tanpa alasan, konsumen luar negeri memang menghendaki demikian. Sejak era kolonial, tembakau tersebut yang diekspor dari tanah Nusantara untuk pembungkus cerutu premium kesukaan orang Eropa.

Tembakau Vosterlanden saat ini dikenal sebagai salah satu komoditas unggulan Klaten. Istilah Vosterlanden merujuk pada istilah wilayah kekuasaan Para Raja Jawa yang meliputi Kasunan, Kasultanan, Mangkunegaran, dan Pakualaman. Istilah ini mulai pudar bersamaan masuknya Jepang pada 1942. Hanya menyisakan nama batik Vosterlanden dan tembakau Vosterlanden. Orang awam menyebutnya sebagai tembakau hibrida, karena bentuk daunnya yang lebar dibanding tembakau lokal.

Tembakau hibrida yang dimaksud ini adalah Na-Oogst varietas H-382 atau dikenal juga sebagai H8. Permintaan pasar internasional terhadap varietas ini memang tinggi utamanya bagi produsen cerutu. Ditambah lagi, iklim Purbalingga cukup baik untuk varietas ini.

Penamaan tembakau jenis Na-Oogst diambil dari bahasa Belanda. Selain itu dikenal pula tembakau Voor-Oogst. Dalam bahasa Indonesia, ‘na’ artinya setelah, ‘voor’ berarti sebelum dan arti dari ‘oogst’ adalah panen. Secara mudahnya Na-Oogst merujuk pada jenis tembakau yang ditanam setelah musim padi di Indonesia. Sebaliknya Voor-Oogst ditanam sebelum musim padi. GMIT mengkhususkan pada jenis Na-Oogst.

Baca juga: Tutur Cerita Tembakau Srinthil

Bibit tembakau yang telah disemai dan disesuaikan dengan kondisi iklim Purbalingga ini sengaja didatangkan dari Eropa untuk dikembangkan. Dibagikan gratis pada warga yang berminat. Bahkan disediakan pula biaya sewa lahan dan dana perawatan tembakau hingga panen. Warga yang akan menanam tembakau milik GMIT harus melalui proses seleksi. Biasanya keseriusan warga merawat bibit tembakau satu bulan pertamanya dapat menjadi indikator lolos tidaknya untuk pencairan dana perawatan. Di sinilah kemudian warga kerap berbuat curang. Ketika dana telah ditangan, mereka malah membelanjakannya untuk material bangunan rumah.

Namun tak sedikit pula yang serius mengerjakan lahan tembakaunya. Beberapa yang memiliki hasil panen cukup baik saat itu adalah Mengunegara, Kedungmenjangan, Bojong dan Toyareja. Saat itu, disebut-sebut dari hasil ini saja si petani bisa kaya raya. Maklum, tembakau itu memang sangat mahal. Saat itu harga satu bal (1 kuintal) bahan cerutu setara dengan sebuah mobil Mercedes. Namun untuk mendapatkan tembakau kualitas tertinggi yang seharga itu jelas tidak mudah mendapatkannya, sebab seleksi daun tembakau bahan cerutu yang dilakukan di Pabrik Kandang Gampang berlapis.

 Tembakau Na-Oogst yang menjadi komoditas utama PT GMIT di masa kejayaannya. Tembakau jenis ini merupakan varietas yang banyak disukai pasar Eropa untuk membuat pembungkus cerutu.

Ada perbedaan yang cukup mencolok antara tembakau yang ditanam GMIT dengan tembakau skala lokal atau tembakau rakyat. Tembakau GMIT mempertahankan per batangnya tidak bercabang dan konsisten berisi 9 sampai 10 daun (3 helai per pemetikan). Sementara tembakau rakyat berisi 16 helai untuk 4 bagian. Prinsip petani lokal, semakin bercabang justru semakin enak disesap. Ini dikarenakan kadar nikotinnya semakin naik. Kedua jenis ini sepakat 3-4 helai paling bawah dibuang karena biasanya kasar dan mudah robek. Yang termasuk dalam jenis tembakau rakyat ini adalah tembakau Genjah, Kemloko, Grompol, Kenanga, Gober hingga sang primadona dunia; tembakau Srinthil.

Tembakau H-382 diambil hasil terbaiknya pada 3 helai di tengah atau pemetikan kedua dengan kriteria berdaun besar, lebar namun tipis lentur. Ini merupakan ciri khas tembakau Na-Oogst yang ditanam pada akhir musim penghujan. Dalam industri cerutu, biasanya difungsikan sebagai lapisan pembungkus. Jika tembakau ini ditanam diakhir kemarau, panen daunnya akan lebih tebal dan cocok dijadikan sebagai lapisan isi cerutu. Sementara itu tembakau lokal atau tembakau rakyat akan mencapai hasil maksimal pada pemetikan ketiga. Daun yang dihasilkan tebal, melintir, dan berbintik. Sungguh hasil yang berbeda.

Tingginya harga untuk panen tembakau hibrida ini menjadikan beberapa petani lokal di lereng Gunung Slamet pun tertarik membudidayakan yang berdaun lebar dan pilihan jatuh pada tembakau Gober. Bedanya, panen tembakau Gober ini akan melewati tangan pengepul di Bobotsari terlebih dulu sebelum sampai ke pabrik. Terlalu seringnya menerima harapan palsu dari pengepul, berimbas pada mogoknya petani Kutabawa menanam tembakau Gober. Bahkan hingga kini. "Karena Gober, orangtua kami dulu banyak merugi, meski kami tahu itu ulah para Ceker (pengepul)", tutur mereka.

Pegawai GMIT Nan Klimis

PT. GMIT seringkali disebut dengan 'Gemit', menambahkan huruf 'e' untuk mempermudah penyebutannya. Warga di seputaran perusahaan tersebut mengenang pada masa puncaknya, pabrik tersebut sangat ramai. Jumlah karyawan ribuan di musim puncak produksi tembakau. Gemit menjadi penanda denyut industrialisasi di Purbalingga sebelum era industri rambut palsu.

Penuturan warga menyebutkan, kehidupan para pekerja Gemit saat itu tercukupi. Mandor-mandor hidup cukup mewah untuk ukuran saat itu. Yeni Mariani, warga Kandang Gampang, mengenang waktu kecil nonton televisi bersama teman-teman di rumah mandor pabrik tembakau. "Saat itu jarang yang punya televisi. Saya dan teman-teman nonton di rumah mandor pabrik tembakau," ujarnya dalam sebuah tulisan di koran Republika.

Baca juga: Menelusuri Lemuk Legok

Adi Purwanto, Warga Babakan yang juga Anggota Tim Ahli Cagar Budaya (TACB) Purbalingga pun memberikan kesaksian bahwa saat itu bekerja di GMIT merupakan kebanggaan dan jaminan tercukupinya kebutuhan hidup. "Saat itu pegawai GMIT terkenal klimis-klimis," katanya. Menurutnya, dari sisi penampilan para pegawai GMIT tampak makmur. "Berbeda dengan pegawai pabrik lainnya," ujarnya.

Hal serupa pun diungkapkan oleh Bambang Sarwono, salah satu mandor Gemit. Menurutnya, Gemit memang royal terhadap karyawannya. Saat Ia bekerja, sepeda motor yang merupakan barang mewah saat itu menjadi tunggangan dinasnya. Tak hanya diberi kendaraan, bahan bakarnya dicukupi. "Asal di parkir di perusahaan, mau pulang bensinnya sudah penuh," katanya.

Selain fasilitas, Gemit juga menjamin kesehatan para pekerja dan keluarganya. "Pokoknya asal ada kuitansinya semua diganti tanpa kecuali," ujarnya. Kemudian, semua karyawan juga diberikan seragam yang memberikan kesan perlente.

Makmurnya perusahaan tembakau itu masih tersisa menjelang kebangkrutannya. Menurut Bambang, pada 1979 perusahaannya sudah berhenti beroperasi namun masih sanggup membayar gaji semua karyawannya sampai kepastian tutupnya di tahun 1981. "Dua tahun nganggur, perusahaan masih bisa memberikan gaji," katanya. Bambang sendiri kemudian memutuskan keluar dari PT GMIT dan meneruskan karir sebagai birokrat.

 
Para pegawai PT GMIT sedang beraktivitas di area pabrik. Rentang usia mereka beragam. Mulai dari anak-anak hingga orang dewasa. Kebanyakan anak-anak ikut terlibat adalah mereka yang turut orangtuanya bekerja di pabrik.

Los/Gudang Tembakau 

Untuk mempermudah proses awal pengolahan tembakau, bangunan los banyak menyertai keberadaan ladang-ladang tembakau yang tersebar di berbagai wilayah, tak terkecuali di Purbalingga. Los biasanya hanya sebagai tempat transit tanaman tembakau dari mulai persemaian bibit sampai pengeringan setelah panen. Dengan ukuran yang cukup luas, los menempati tanah-tanah kas desa atau tanah sewaan milik perorangan. 

Pada masa awal industri tembakau di Purbalingga, bangunan los masih sedikit. Berdasarkan peta terbitan Belanda yang memuat keberadaan tabakloodsen (gudang tembakau) di tahun 1917, tercatat hanya ada di Kandang Gampang, di Penaruban dekat jembatan lama Sungai Klawing, Karanglewas dan Walik di Kecamatan Kutasari, di Pacitan dan Patemon Kecamatan Bojongsari, serta di Karang Sentul dan Planjan Kecamatan Kalimanah. Di Purbalingga, bangunan los yang telah beralih menjadi permanen juga kerap dikenal sebagai gudang mbako/gudang pengering berjumlah sekitar 40 buah selama GMIT beroperasi. Beberapa diantaranya berada di Padamara, Bojongsari hingga Bobotsari. Tidak mudah melacak keberadaan bangunan ini, mengingat sebagian besar sudah dibongkar bertahun lampau. Diduga hanya dua yang tersisa dan telah beralih fungsi menjadi pabrik rambut palsu dan gudang Bulog. 

Bangunan los didesain dengan jendela selalu terbuka yang bertujuan mempermudah proses pengembunan daun-daun yang sedang digantang. Pengembunan berlangsung pada tengah malam sampai matahari bersiap menyapa. Dengan demikian daun memiliki tingkat kelembaban sesuai harapan; lentur atau nyir nyir wulu kalong dalam bahasa para mandor GMIT.

Baca juga: Kretek dan Saya

Aktivitas di bangunan los meningkat ketika masuk musim panen. Di tempat inilah daun tembakau disetorkan ke mandor untuk kemudian diikat dan ditusuk atau diunting guna persiapan pengeringan. Satu ikatan berisi 5-10 lembar daun. Saat ditusuk kondisi daun harus benar-benar baik. Tidak boleh sobek ataupun melintir. Setelahnya daun tembakau yang digantung akan diasapi supaya kering. Pengeringan semacam ini dikenal sebagai teknik fire cured yang menghasilkan tembakau dengan kadar gula rendah dan tinggi nikotin. 

Sebelum dikemas, daun-daun tembakau yang baru dipanen akan dikeringkan terlebih dulu di bangunan los. Bangunan non permanen ini dibuat tanpa banyak sekat atau penghalang. Los dalam bahasa Jawa berarti luas - lega. Ciri khasnya beratap welit (daun tebu kering), bertiang bambu dan berdinding anyaman bambu. Biasanya bangunan los memanjang Utara-Selatan dengan tujuan menghindari arah angin yang dapat merobohkan bangunan. Rata-rata berukuran panjang 100 meter, lebar 18 meter dengan tinggi 12 meter.

Bangunan los atau gudang tembakau merupakan tempat transit tembakau di tiap-tiap proses pengolahannya.

Pada saat proses pengeringan setiap los membutuhkan 200 tungku. GMIT mengkhususkan kayu karet saja yang baik untuk daun tembakau olahannya. Unit penggarangan begitu mereka menyebut spesialisasi pekerjaan di gudang pengering ini akan mulai beroperasi dari sore hingga pukul 22.00. Setelahnya api harus padam. Setelah kering barulah daun-daun dibawa ke Kandang Gampang untuk disortir oleh para perempuan yang menjadi pemilih tembakau. 

Setelah melewati ketatnya pemilihan daun tembakau berkualitas, bahan utama cerutu ini masuk ke gudang afpak untuk proses akhir. Daun tembakau pilihan kemudian ditumpuk mencapai ketinggian sekira 3 meter dengan diameter 5 meter. Tumpukan ini dinamakan stapel. Dan untuk menjaga suhu tetap stabil, diantara stapel ditempatkan termometer. Jika gesekan antar daun mengakibatkan suhu meningkat, maka ada petugas yang siap sedia membongkar stapel. Keberadaan tumpukan tembakau pun akan dirotasi agar selalu terhindar dari panas berlebih. Apabila suhu stabil, penggarangan dapat berjalan lancar selama satu pekan. Jika suhu naik, maka dalam dua hari saja rotasi harus dilakukan. Petugas stapel sampai menggunakan bantuan galah untuk mengatur termometer hingga ketinggian tiga meter ini. Karena bila tembakau sampai gosong maka hanya akan menjadi barang afkir semata.

Selain di Kandang Gampang, bangunan gudang afpak pun terdapat di kompleks perkotaan Purbalingga. Salah seorang keluarga bermarga Gan pemiliknya. Marga Gan dikenal sebagai pemilik sejumlah bisnis yang ada di Purbalingga. Salah satunya Gan Koen Lem. Saudara sepupu Gan Koen Se ini memiliki PT. Kembaran, salah satu tempat pengolahan tembakau pun banyak bermunculan. Bedanya sebagian besar adalah pabrik skala kecil yang memproduksi rokok untuk konsumsi lokal. Dan dari semua, PT. Kembaran dianggap GMIT paling berpengaruh di tingkat lokal. Sebagai taktik bisnis, GMIT pun menggandeng PT. Kembaran sebagai rekanan pada tahun 1975 dengan mengalihfungsikan tempat produksinya sebagai gudang afpak GMIT.

 

Tulisan ini adalah cukilan dari buku Tembakau di Purbalingga yang diterbitkan penulis bekerja sama dengan Sekretariat Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBHCHT) Bagian Perekonomian Sekretariat Daerah Kabupaten Purbalingga Tahun 2019.