Home > Eksplorasi >
Jalan Jauh ke Tidore (Bagian I)
Jalan Jauh ke Tidore (Bagian I)
Perjalanan ke Tidore meninggalkan serangkaian kesan yang sensasinya boleh diadu dengan cinta pertama. Inilah kali pertama saya menginjakkan kaki di luar Pulau Jawa, menumpangi pesawat terbang, hingga menikmati sajian ikan segede Gaban!
Saya lahir besar di Cindaga, Kebasen, Banyumas, Jawa Tengah. Satu-satunya kota yang saya tinggali sebelum hijrah ke Ibu Kota adalah Purwokerto—sekitar 36 menit dari desa saya, untuk melanjutkan studi selepas SMA. Sebagai anak desa, pengetahuan saya mengenai kota dan daerah lain tentunya sangat minim. Purwokerto walaupun terhitung kota besar dalam untuk saya, tidak banyak berbeda oleh sebab lingkup budaya yang masih sama.
Hingga saya hijrah ke Jakarta selepas studi di Purwokerto. Hentakan ritme kota yang sedemikian cepat dan acak, membuat saya cenderung mengasingkan diri. Hidup saya tidak pernah keluar dari lingkar kos-kantor-kos, sampai kemudian saya dikenalkan kepada teman-teman yang kemudian bersama mendirikan Spektakel. Kami berbagi banyak kesamaan karena mereka pernah tinggal di Banyumas untuk waktu lama. Anak-anak Banyumas bersua di ibukota.
Bersama Spektakel, saya mulai belajar memahami Indonesia. Terlalu luas dan beragam memang, tanpa ada embel-embel ‘nasionalisme’. Saya terpana akan kekayaan Nusantara ini. Bersama Spektakel pula saya mulai melangkahkan kaki ke tempat-tempat baru. Kolega saya, Suryo Sumarahadi, seorang traveler profesional pernah mengajak saya ke Baduy Dalam—pengalaman mengesankan yang akan saya ceritakan lain kali. Namun saya belum pernah mencicipi pengalaman keluar dari Pulau Jawa.
Pemandangan Pulau Tidore dan Pulau Meitara dari Ternate, kota singgah saya sebelum menginjakkan kaki di Tidore.
Jalan 'Jauh'
Tahun 2018 saya mengambil sebuah proyek di Kementerian Sosial (Kemensos). Proyek inilah yang memberikan saya kesempatan untuk mengalami perjalanan yang saya ingin bagi dengan pembaca budiman. Pada bulan November, saya dan dua kolega ditugaskan Kemensos untuk ke Tidore.
Saya bersemangat, bukan untuk pekerjaannya, tetapi karena destinya. Pula perjalanan ke Tidore ini juga menjadi pengalaman pertama saya naik pesawat terbang!
Kami mendarat di bandara Sultan Babullah, kemudian melanjutkan perjalanan dengan mobil ke penginapan kami di sebuah hotel empat lantai di dekat pelabuhan Kota Ternate. Hari pertama kami habiskan dengan memberikan lokakarya ala kementerian pada umumnya. Tidak ada yang luar biasa dari agenda pekerjaan saya di sana.
Justru geliat keseharian di sini yang meninggalkan kesan. Di sini hidup berjalan dengan ritme dan pola yang amat berbeda. Bahkan dari desa saya sekalipun. Saya begitu terkejut, misalnya, karena tidak ada Alfamart atau Indomaret di kota ini, hal yang lumrah saya jumpai di kota-kota di Jawa.
Tak banyak waktu kami untuk menjelajah kota Ternate di hari pertama. Tapi sebagai tukang makan yang dikenal tak pandang bulu, tentu saya menyempatkan diri mencicipi kuliner di kota ini. Makanan laut adalah menu utamanya dan disajikan dengan luar biasa! Baik itu rasa maupun porsinya. Kami tak mengira porsi di sana sebegitu besar, sampai kami melihat tumpukan ikan yang datang ketika pesanan kami dihidangkan. Sebagai perbandingan, satu porsi ikan yang ada di depan saya ketika itu bisa mencukupi makan siang dan makan malam satu keluarga berisi empat orang.
Ikan-ikan segar yang menjadi santapan saya sepanjang perjalanan di Ternate-Tidore.
Baru di hari kedua kami mendapatkan waktu bebas untuk jalan-jalan. Itu pun setelah merampungkan pekerjaan terlebih dulu. Kurang lebih pukul 15.00 WIT kami luang. Saya dan kolega lantas memutuskan menjelajah Pulau Ternate, meski waktu yang tersedia tidak banyak. Kami mesti kembali ke hotel pukul 22.00 sebab esok masih harus bekerja. Ya sudahlah. Dengan bekal hasil bertanya-tanya destinasi mana yang sekiranya menarik untuk dikunjungi ke peserta lokakarya, kami pun berangkat.
Tak jauh dari hotel kami ada tukang ojek. Kepada mereka kami bertanya di mana kami bisa mendapatkan taksi atau mobil sewaan untuk berkeliling kota. Rupanya, sudah biasa turis dari luar kota menanyakan hal ini. Dengan sigap mereka mengontak temannya yang juga pemilik mobil. Tidak lama kemudian datang mobil Toyota Rush lengkap dengan supir yang merangkap pula sebagai pemandu wisata. Ongkosnya sekitar Rp350 ribu yang kami bertiga, tidak mahal menurut ukuran kami.
“Bapak Ibu mau ron saja?” tanyanya. Kami bengong sebentar, tak paham dengan istilah yang disebut pak supir. Ternyata ‘ron’ adalah istilah lokal yang berarti tur mengelilingi pulau. Tak butuh waktu lama rupanya untuk mengelilingi satu pulau, cukup tiga jam saja. Sekali lagi, tiga jam! Saya kaget dan bingung membayangkan bagaimana jika tempat yang saya tinggali bisa dikitari dalam waktu sesingkat itu.
Di perjalanan, saya menyaksikan pemandangan luar biasa. Laut serta langit biru tampak kontras dengan hamparan pulau hijau. Saya pun jadi melankolis. “Pemandangan secantik ini mestinya dinikmati bersama kekasih,” pikir saya.
Pantai Jikomalamo jadi tujuan pertama kami. Airnya sangat bening seperti air galon Aqua yang dituang begitu saja mengisi relung samudra. Begitu beningnya hingga dari permukaan saya bisa melihat ikan-ikan berenang. Jauh berbeda dengan pantai Teluk Penyu Cilacap atau Ancol Jakarta.
Hari beranjak malam. Sebagaimana orang kebanyakan, sekira pukul 17.30 kami bergegas mengejar matahari terbenam. Untuk itu kami melaju ke bagian Barat pulau. Toyota Rush kami melaju cukup cepat, meski terhalang kambing-kambing yang berkeliaran di jalan. Lima puluh menit kemudian kami tiba di pantai kedua—meskipun rasanya lebih tepat jika disebut tebing. Jam menunjukkan pukul 18.20, tetapi semu merah matahari terbenam masih terlihat.
Pemandangan itu mengingatkan saya akan salah satu adegan penutup manga One Piece. Di situ mereka duduk santai dengan latar belakang matahari terbenam sembari berseru, “Sayonara!” kepada temannya yang ditinggal di Kerajaan Alabasta. Saya rekam dalam-dalam pemandangan itu. Indah betul, tanpa sadar dada saya dipenuhi haru.
Malam sudah turun, tetapi kami masih melanjutkan perjalanan mengelilingi pulau melihat sisi belakang Kota Ternate. Laut di kanan kami, kaki gunung di kiri kami. Di sanalah warga bermukim dan berkebun pala. Begitu terus pemandangan kami sampai tiba kembali di Terante. Baru ketika itu saya menyadari bahwa daerah ini terletak di kaki Gunung Gamalama.
Seperti kebanyakan orang kementerian yang tengah berdinas di luar kota, perjalanan tak lengkap tanpa mampir ke pusat kerajinan. Kami pun melipir ke pusat kerajinan emas putih di sudut kota. Sebuah kalung saya beroleh di sana untuk kekasih di kota. Saya teringat meme yang mengatakan bahwa wanita suka dengan benda yang bersinar, saya kira hal itu benar.
Tiba hari ketiga, dua kolega saya memutuskan pulang. Tapi saya masih betah singgah di kota nun jauh ini. Akhirnya saya menunda kepulangan selama dua hari dan memisahkan diri dari rombongan. Keputusan yang tak saya sesali, tapi cukup membuat panik tak berapa lama kemudian. Halo, saya ini bukan seorang traveler profesional. Saya ini seorang web developer, apalah yang saya tahu tentang berkelana di kota asing?
Pergi ke mana? Naik apa? Apakah tidak terlalu berisiko? Pertanyaan-pertanyaan itu muncul satu per satu di kepala saya. Dalam kondisi panik bercampur bingung itu pula saya teringat mitos-mitos akan kerasnya orang Indonesia Timur. Warna kulit dan bentuk tubuh saya begitu berbeda dengan orang lokal, menjadikan figur saya begitu mencolok dan target mudah kejahatan. Jangan sampai saya mati konyol.
Ruslan Sangaji alias Ichan yang menjadi teman perjalanan saya menjelajah Tidore.
Di saat itulah saya teringat Suryo, sejawat saya di Spektakel. Kepadanya saya meminta pencerahan. Ia pun menyarankan saya pergi ke Pulau Tidore dan mengajak salah satu peserta lokakarya tempo hari sebagai teman jalan. Opsi yang menarik, tapi cukup sulit dilakukan. Bukan soal perjalanan ke Tidore, tetapi perkara mencari teman jalan. Tak mungkin saya mengajak peserta lokakarya Kemensos kemarin. Rerata mereka sudah lanjut usia dengan jam kerja yang ketat dan keluarga di rumah.
Sendirian, saya turun ke lobi hotel untuk check out. Siapa sangka tetiba muncul sosok yang saya idamkan untuk jadi teman jalan ke Tidore. Dia muda, bertenaga, dan terlihat bisa dipercaya. Namanya Ruslan Sangaji, saya memanggilnya Ichan. Sangat imut orangnya.
Setelah ngobrol sekitar setengah jam, dia paham kebingungan saya dan menawarkan diri menjadi teman sekaligus pemandu saya jalan-jalan. Kebetulan rumah keluarganya memang di Pulau Tidore. Pucuk dicinta ulam tiba. Kami bersepakat memulai perjalanan seusai gilirannya bekerja, sekitar dua jam lagi. Begitu selesai, Ichan membonceng saya di motor Mio keluaran 2014 ke pelabuhan terdekat untuk menyebrang ke pulau Tidore…