Home > Ini Indonesia >
Ciu Later! Kisah Sommelier Ciu Banyumas
Ciu Later! Kisah Sommelier Ciu Banyumas
Wawie bukan sekedar penjual, tetapi dianggap ahlinya ciu. Pilihannya akan rasa serta kualitas, membuatnya memiliki pelanggan setia. Kini mereka was-was, karena Pak Bupati punya program membuat hand sanitizer berbahan ciu. Ada ketegangan antara kesenangan dengan kesehatan.
Kalau harus menyebut ikon makanan serta minuman dari wilayah Banyumas Raya (Banyumas, Cilacap, Purbalingga, Banjarnegara), maka sroto (betul, pakai huruf 'R'), mendoan dan ciu menjadi dua ikon yang menyatukan kesemua wilayah - menjadi konsesus identitas yang bisa memunculkan kebanggaan tersendiri. Mendoan beberapa waktu lalu diusulkan menjadi Warisan Budaya Tak Benda, untuk menunjukan betapa pentingnya makanan tersebut. Mendoan bukan tempe dan takkan pernah menjadi tempe. Kita akan bahas itu lain waktu.
Yang saya ingin ceritakan ditulisan ini adalah ciu, minuman alkohol (minol) tradisional yang memang tidak secara eksklusif berasal dari Banyumas Raya karena berbagi identitas dengan saudara dekatnya di Klaten serta Solo. Ciu dari wilayah Klaten dan Solo berasal fermentasi dan distilasi tetes tebu, sedangkan ciu Banyumas dibuat dari tape singkong.
Desa Cikakak, Windunegara dan Wlahar Kecamatan Wangon Banyumas adalah dua desa yang dikenal sebagai produsen ciu papan atas. Kualitasnya dianggap premium oleh para pemerhati ciu seperti saya. Di dua desa tersebut, ciu merupakan suguhan bagi tetamu.
Dapur ciu di Desa Cikakak. Kita tidak bisa mengunjungi begitu saja karena alasan keamanan. Dok: Setyo Nurdiono M.
Tentu sebagai minol tradisional, para pengrajin serta penjual ciu berhadapan langsung dengan perkara hukum. Produsen yang kesemuanya rumahan mesti "kucing-kucingan" dengan aparat keamanan karena razia kerap dilakukan. Bila Anda ingin mengunjungi dapur pembuatan ciu di Banyumas, ada tata cara yang mesti dilalui karena para pengrajin akan selalu menaruh curiga ke pendatang. Ini soal keamanan dan kelangsungan hidup mereka.
Tak beda pula dengan para penjual ciu. Relasi mereka dengan para produsen berangkat dari sistem saling percaya - saling menjaga. Seperti penjual ciu langganan saya, Wawie (40). Ia memulai usaha penjualan ciu sejak 2010 dan kini dikenal sebagai salah satu penjual ciu ternama di wilayah Purwokerto. Wawie dianggap sebagai seorang sommelier ciu, karena kurasinya dirasa cocok bagi para penggemar ciu.
Ada penjual ciu yang mencampur air atau ethanol dan ini tentu tindakan anasir yang merugikan para pembeli. Rasa ciu jelas berubah serta dampak pada sensasi meminumnya berkurang. Jelas ini dihindari sekali dan Wawie paham itu. Baginya, kwaliteit dagangannya harus dijaga ketat. Hal itulah yang membuat Wawie memiliki groupies setia semacam saya.
Proses distilasi ciu. Bukan hanya soal bahan baku, tata cara mengolah akan menentukan hasil akhir. Dok: Setyo Nurdiono M.
Proses menentukan rasa dan kualitas ciu sepenuhnya ada di tangan pengrajin, namun para penjual seperti Wawie juga memiliki hak intervensi. Wawie bersama pengrajin bersama melakukan uji rasa untuk menentukan tipe serta kualitas ciu yang dirasa cocok dengan selera pasar. Bila uji rasa ini sudah disepakati, maka perjanjian bisnis bisa dilaksanakan.
Bisnis ciu Wawie mendapatkan tentangan dari orang tua dan istri, tapi Wawie memutuskan jalan terus. Omset yang menggiurkan menjadi alasan utama. Pada situasi normal, masa penjualan tertinggi terjadi di Jumat dan Sabtu malam. Minggu pagi kadang juga waktu penjualan terbaik bila banyak pertunjukan ebeg (sebutan kesenian Kuda Lumping di Banyumas Raya) karena menonton ebeg terasa lebih absah bila ditemani tenggakan ciu.
Wawie (40), dianggap sebagai kurator ulung ciu di wilayah Kabupaten Banyumas. Dok: Cahyo Prihantoro.
Tiga puluh liter ciu per malam dengan omset Rp. 1.800.000 / malam tentu terasa sulit ditolak. Tapi sebagaimana bisnis di area abu-abu, semua itu datang dengan harga. Seperti halnya pengrajin, sebagai penjual Wawie juga memiliki resiko terkena razia aparat keamanan.
Wawie jelas pernah kena razia. Pengalaman-pengalaman terkena razia itulah yang memberikannya ilmu crisis management yang efektif, efisien, serta relevan dengan kondisi lapangan. Wawie memiliki kolega-kolega yang secara sukarela memberikan informasi mengenai rencana razia, dengan begitu ia bisa menyiapkan dua liter ciu yang dicampur air putih biasa, sebagai korban barang bukti yang akan diambil aparat ketika razia dilaksanakan.
Ciu dalam genggaman. Warna bening agak kekuningan, membedakan ciu dengan air putih biasa. Dok: Cahyo Prihantoro.
Dan sebagai pebisnis ciu ulung, Wawie juga paham bagaimana membangun relasi yang dinamis dengan aparat keamanan. Uang setoran bulanan adalah media penjaga hubungan baik yang paling utama, walau bukan jaminan pasti usahanya tidak terkena razia. Ini adalah bentuk hubungan yang rentan serta toxic tetapi mesti dilakukan. Wawie paham itu dan sejauh ini ia merasa baik-baik saja.
Ketika pandemi corona merebak, Banyumas Raya tidak luput dari jajahan corona. Bupati Banyumas, Achmad Husein, memanfaatkan ciu untuk membuat hand sanitizer. Hal ini untuk mengatasi kelangkaan hand sanitizer di masyarakat.
Maka Pemda Banyumas bersama aparat mendatangi para pengrajin ciu, kali ini bukan untuk merazia tetapi pendekatan persuasif agar pasokan ciu dialih fungsikan menjadi bahan baku hand sanitizer. Situasi ini dirasa menguntungkan sekali untuk pengrajin karena untuk pertama kalinya mereka produksi tanpa rasa takut dan bahkan dilindungi, walau perputaran uang hasil penjualan ciu sebagai bahan hand sanitizer jauh lebih lambat ketimbang sebagai minuman.
Kemasan sederhana, rasa sungguh kaya. Dok: Cahyo Prihantoro.
Sebaliknya, bagi Wawie dan konsumen seperti saya, situasi ini jelas menyulitkan. Pasokan ciu di pasaran mendadak berkurang secara dramatis. Barang kurang - permintaan tinggi - harga naik. Itu hukum pasar 101.
Namun Wawie mengerti sekali keputusan para pengrajin ciu, terutama rekanan bisnisnya. Kapan lagi mereka yang biasanya dirazia, kini malah jadi rekanan bisnis aparat? Di situasi seperti ini, ciu yang selama ini dianggap haram jadah, kini menjadi produk dengan nilai guna. Lagi pula, jualan ciu bukan satu-satunya bisnis Wawie. Ia juga punya angkringan yang diberi nama Mendoan Stone sebagai bisnis lapis dua. For a greater good, begitu kira-kira ucap Wawie ketika memeriksa pasokan ciunya menipis.