Logo Spektakel

Home > Ini Indonesia >

Pedagang Asongan: Wajah Gig Economy Kita

Pedagang Asongan: Wajah Gig Economy Kita

Gig economy konon lahir dari Lembah Silikon di Amerika Serikat sana. Anggaplah pernyataan kami ini sebagai pseudo-nasionalisme; Nusantara ini sudah lebih dulu akrab dengan gig economy.

Beberapa waktu lalu kami mengajak teman-teman semua untuk membicarakan Indonesia lewat foto. Tujuannya sederhana, kami ingin melihat bagaimana kita melihat diri sendiri. Ada belasan kiriman foto. Masing-masing dengan cerita yang menarik tentang Indonesia. Dari sekian yang masuk, kami sepakat akan satu yang membuat kita berseru “Ini Indonesia!”: pedagang asongan di tiap keramaian—foto hasil jepretan Umar Tusin.

Setiap ada keramaian oleh sebab apapun, maka segerombol pedagang asongan muncul untuk memanfaatkan momentum tersebut menjadi kemaslahatan ekonomi mereka. Jangankan sekadar demonstrasi, bahkan serangan teroris pun diperlakukan layaknya pasar malam.

Belum lagi, pedagang jas hujan dadakan. Kita yang tinggal di area Jabodetabek tentu sudah tidak asing dengan keberadaannya. Saat hujan mengguyur, tetiba mereka muncul entah dari mana. Menghampiri orang-orang yang menepi berteduh di kolong-kolong jalan, menjajakan ponco plastik seharga ceban. Bila sudah begitu, bagi mereka, benar adanya bahwa hujan adalah berkat. Jalanan yang basah berubah jadi pasar kilat untuk mencari tambahan uang belanja kebutuhan dapur. “Alhamdulillah!” seru mereka.

Inilah gig economy kita!

Penjual minuman dingin adalah salah satu yang pasti dijumpai di setiap keramaian. Di tengah demonstrasi, keberadaan mereka adalah oase sekaligus titik kumpul beberapa kelompok kecil.

Menelisik Pengertian Gig Economy

Istilah yang satu ini kian familiar seiring berkembangnya boom perusahaan rintisan di Lembah Silikon di Negeri Paman Sam dan identik dengan revolusi industri 4.0. Tapi sebelum itu pun, hal yang kemudian dikenal sebagai gig economy itu sudah ada. Dan Indonesia, telah lama punya bentuk dan praktiknya tersendiri. Sebelum membahas itu, mari kita selidiki apa sebetulnya maksud dari gig economy

Dalam banyak media yang menangkap fenomena ini, gig economy merupakan ekonomi yang dibangun atas pekerjaan individu yang fleksibel dan temporer. Dulu istilah ‘gig’ hanya identik dengan musisi (Nemko, 2016). Lain dulu, lain sekarang. Termin ‘gig’ juga mencakup pengertian yang lebih luas lagi. Saat ini, boleh dikatakan gig economy jadi istilah kekinian untuk para pekerja serabutan atau para pekerja informal.

Beberapa pekerjaan yang termasuk gig economy misalnya pengasuh anak (baby sitter), tukang reparasi, asisten rumah tangga paruh waktu, penulis lepas, dan tentu saja pedagang-pedagang asongan di sekitar kita. 

Ada Permintaan, Ada Barang

Pernahkah tebersit mengapa keramaian di Indonesia selalu menjelma jadi pasar dadakan? Entah itu penjual air mineral, kacang, rokok, permen, sampai tisu atau mungkin pulsa–dan tentu saja selalu ada barang-barang yang tak terduga seperti kanebo misalnya, lem Korea, dan sebagainya. Pun dalam beberapa kasus, tidak lengkap keramaian tanpa kehadiran tukang parkir dadakan.

Baca juga: Kongsi Maslahat Ketoprak Toro

Tak lain dan tak bukan, semua itu muncul karena prinsip dasar ekonomi: ada permintaan, maka ada barang. Massa yang berkumpul pasti membutuhkan penyegaran, atau tisu untuk menyeka keringat. Dan apalah ngaso atau kongkow tanpa ditemani sebatang, dua batang rokok. Tentu saja, sebungkus gorengan akan membuat seluruh pengalaman kumpul-kumpul kian paripurna. Begitulah, kemudian para pedagang berkumpul memenuhi kebutuhan-kebutuhan yang tercipta di setiap kerumunan.

Sebagaimana Ibu Kota yang padat akan selalu menarik orang untuk menjajal peruntungan mereka di sana. Begitu pula kerumunan menawarkan kesempatan lebih banyak untuk mendulang untung. Cerita mereka sempat pula diberitakan berbagai media. Antara News sempat memuat cerita tentang Agus Mukri, pedagang asongan yang berjualan di arena demonstrasi mahasiswa dan buruh di Jalan Gerbang Pemuda, Senayan, pada Agustus tahun lalu. 

Kerumunan oleh sebab apapun tidak lengkap tanpa kehadiran penjaja gorengan. Entah itu untuk menemani kongkow atau sekadar mengganjal rasa lapar di tengah aksi.

Di tengah-tengah demo dan aksi unjuk rasa penolakan RUU Cipta Kerja itu, Agus Mukri berhasil meraup keuntungan sampai dengan Rp480.000. “Kalau demonya ramai, ya lumayan juga keuntungannya”, tukasnya kepada Antara News.

Palembang juga punya cerita serupa. Pedagang asongan itu bernama Sutinah dan ceritanya sempat dimuat oleh IDN Times. Ia berjualan air mineral di tengah aksi UU Omnibus Law Ciptaker Oktober tahun lalu. Untuk sampai ke lokasi aksi, Sutinah rela membawa gerobaknya dari KM 15 Palembang menuju ke Simpang 5 DPRD Sumsel, di Jalan POM IX Palembang. 

Berdasarkan peta Google, 15 km jarak yang harus ditempuh Sutinah. Jarak yang lumayan, waktu tempuhnya 30-40 menit menggunakan mobil, dan 2 jam 40 menit jikalau berjalan kaki. Toh tetap tak menyurutkan motivasi Sutinah untuk mendapatkan cuan. “Saya tahu ada demo, jadi yakin bisa lebih banyak dapat uang,” katanya lugas.

Baca juga: Rowi Starling

Kegetapan mereka menangkap kesempatan kerap membuat mereka tidak kenal takut. Bahkan aksi terorisme di Sarinah, Jakarta pada 2016 lalu, tidak dilewatkan pedagang-pedagang asongan kita untuk mencari untung. Pedagang kacang, minuman, bahkan sate turut hadir dan sigap memenuhi kebutuhan siapapun yang terlibat dalam proses pengamanan pascapeledakan Bom Sarinah. Tidak hanya itu kehadiran mereka juga semacam jadi penetralisir suasana.

Bagaimana Sumbangsih Asongers bagi Perekonomian Kita?

Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), pedagang asongan dan semua pedagang dadakan yang sering kita jumpai termasuk dalam kategori pekerja informal. Artinya mereka bekerja sendiri, menjalankan aktivitas sebagai tenaga usaha penjualan. Lantas bagaimana kontribusi mereka dalam perekonomian bangsa kita?

Jumlah pedagang asongan yang bejibun di tengah kerumunan aksi dan kedekatan mereka dengan publik, menjadikan profesi yang satu ini jadi penyamaran intelijen. 

Berdasarkan data BPS 2020 silam, sepanjang 2018-2020 proporsi pekerjaan informal berturut-turut mencakup 44,20%, 43,9%, dan 48,6%. Hampir separuhnya. Topangan sektor informal terhadap ekonomi Indonesia memang cukup signifikan.

Bahkan pada saat Indonesia mengalami krisis tahun 1998. Saat itu ekonomi benar-benar carut-marut. Tingkat inflasi tinggi — saat itu angkanya hampir tembus 80%. Ditambah saat itu juga marak Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Jutaan orang kehilangan pekerjaannya. Daya beli anjlok. Ekonomi kita diperkirakan luluh lantak. Tapi kita tetap bertahan dengan informalisasi tenaga kerja secara masif. 

Baca juga: Arcida Gentayangan

Usaha-usaha mikro, kecil, dan menengah tumbuh subur. Mereka adalah warung-warung dan para pedagang asongan tersebut. Usaha kecil-kecilan menjual rokok, kopi, dan sebagainya, adalah cara cepat dan konkret untuk bertahan di masa yang sulit. Syukur-syukur bisa berkembang. 

Akan tetapi, lambat laun sektor informal, termasuk para pedagang asongan di dalamnya, ternyata hadir menjadi pembaharu. Mereka jadi bagian yang menguatkan dan membuat perekonomian kita bangkit dari keterpurukan. Berger & Buvinic pernah menjelaskan bahwa sektor informal prinsipnya tetap berdasar pada konsep supply and demand. Menurut teori ini, berkembangnya sektor informal adalah respon terhadap keterbatasan sektor formal dalam menyerap tenaga kerja.

Oleh karena itu, bisa dikatakan munculnya pedagang asongan adalah reaksi dari krisis. Jumlah mereka yang terus bertambah, dan kemunculan mereka di hampir setiap kerumunan, adalah cerminan kebanyakan kita yang terus terhimpit situasi. Orang-orang berlomba bertahan, berlomba mencari peluang. Itulah pedagang asongan, itulah gig economy kita!