Home > Ini Indonesia > Tradisi >
Sang Juragan, Pengrajin Ciu Asli Cilacap
Sang Juragan, Pengrajin Ciu Asli Cilacap
“Hidup ini memang keras. Apa salahnya kujual miras?” Sebait lirik lagu “Sang Juragan” dari grup musik Silampukau itu kurang lebih merangkum lika-liku hidup Pak Jasmadi dan Bu Rempi. Mereka adalah pasangan suami istri pengrajin ciu di Desa Cikakak, salah satu sentra penghasil ciu kualitas wahid di seantero Banyumas Raya.
Wilayah Banyumas Raya identik dengan beberapa hal, ciu salah satunya. Minuman alkohol lokal yang satu ini memang begitu mengakar dalam budaya Banyumas dan kerap hadir di hiburan lokal. Entah itu pentas dangdut, ronggeng, atau panggung-panggung musik independen. Sebegitu identiknya, hingga tercatat dalam salah satu mahakarya sastra Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari. Kebetulan kediaman salah satu putra daerah kebanggaan Banyumas itu terletak hanya sekira 30 menit dari Desa Cikakak, salah satu sentra penghasil ciu kelas wahid seantero Banyumas Raya.
Di sinilah tinggal Pak Jasmadi dan Bu Rempi, pasangan suami istri yang telah dua dekade menjadi pengrajin ciu penuh waktu. Mereka memang bukan satu-satunya pengrajin ciu di desa tersebut, tetapi ciu mereka dianggap istimewa. Bagaimana tidak, para aparat setempat pun kerap merekomendasikan kediaman sekaligus workshop pasutri tersebut setiap kali ada orang berkunjung untuk melakukan riset atau sekadar bertamu.
Setibanya di kediaman mereka, kami disambut Bu Rempi, perempuan setengah baya dengan raut wajah keras. Toh tidak menutupi jejak kecantikannya di masa muda. Awal perkenalan kami terasa suasana tegang dan kikuk karena mereka pikir kami adalah tamu utusan pemerintah desa. Konflik yang akan kami ceritakan di bagian lain tulisan ini.
Bu Rempi, yang belakangan kami sapa Mak Rempi, istri Pak Jasmadi. Dari anak, kini menjadi istri juragan ciu setelah usaha ciu ayahnya diteruskan oleh sang suami.
Dalam keributan kecil itu pula kami berkenalan dengan Pak Jasmadi, tuan rumah sekaligus orang di balik suplai ciu terbaik di Banyumas Raya. Suasana berangsur cair dan Bu Rempi menjadi lebih hangat. Sehangat ciu yang disuguhkan kepada kami.
Pak Jasmadi sempat menjadi penjual sayur di sebuah pasar di bilangan Cilacap sampai ia mesti pindah lapak karena tempatnya berjualannya kena gusur. Sayang, lapak baru tidak membawa peruntungan yang sama. Maka ia kemudian memilih banting setir menjadi petani sekaligus pembuat ciu di Desa Cikakak bersama Bu Rempi, sang istri yang sekaligus putri dari juragan ciu di daerah tersebut. Sejak kecil, ibu yang hingga kini masih terlihat awet muda itu sudah sering membantu orangtuanya meracik minuman alkohol tradisional ini.
Baca Juga: Dimabuk Kepayang Ciu Ginseng
Setelah resmi gulung tikar dari usahanya berjualan sayur, Pak Jasmadi menyampaikan niatnya untuk juga menjadi pembuat ciu sekalian menitipkan jualannya kepada ayah mertua yang sudah menggeluti usaha ini sejak tahun ‘70-an. Sebabnya orangtua Bu Rempi juga sudah memiliki jaringan pelanggan hingga ke Kabupaten Purbalingga. Seiring berjalannya waktu, Pak Jasmadi resmi menjadi penerus bisnis ciu mertua, berikut dengan jaringan pelanggan - menjadikannya generasi kedua.
Pak Jasmadi dan Bu Rempi terus bekerja selama proses penyulingan ciu berlangsung. Dari sekadar mengecek besaran api, memastikan pasokan air pendingin terjaga, hingga mengumpulkan ragi-ragi bekas untuk dijadikan tape.
“Sekali waktu datang mereka yang berseragam. Turun dari mobil, pasang wajah sok seram.”
Dalam menjalani bisnis per-ciu-an, Pak Jasmadi bagai pelaut yang harus mengarungi ‘perairan’, harus menghadang badai tanpa segan. Bisnis ini lumayan lebih keras ketimbang minuman tradisional itu sendiri. Tantangan yang paling konkret tentu ketika harus menghadapi gerebekan aparat setempat. Maklum, ciu masih merupakan barang ilegal sampai belakangan diketahui bisa menjadi bahan baku hand sanitizer.
Pada awal kariernya sebagai produsen ciu, ia pernah ditangkap tiga kali dalam tiga bulan berturut-turut. Ketika itu terjadi, mau tidak mau uang harus bicara dan melayang. Penangkapan pertama terjadi di Jeruk Legi dan memaksanya merogoh kocek senilai Rp250.000. Kali kedua, Pak Jasmadi ditangkap di Perliman dan mesti melayangkan Rp1 juta rupiah begitu saja. Terakhir, dia kembali harus membayar Rp700.000 ketika ditangkap di terminal Cilacap. Kejadian itu membuatnya sempat gulung tikar lagi. Ia pun kemudian harus meminjam uang ke koperasi demi memutar kembali roda bisnisnya.
Ironi Pandemi
Setelah sekian lama kucing-kucingan dengan aparat, belakangan Pak Jasmadi dan para pengrajin ciu lainnya justru dirangkul pemerintah. Ironisnya, situasi darurat pandemi yang menciptakan gencatan senjata sementara di antara mereka. Sebabnya, ciu bisa menjadi bahan baku hand sanitizer yang krusial untuk mencegah penularan COVID-19. Meskipun program tersebut bukan tanpa perkara.
Ciu buatan Pak Jasmadi yang siap diedarkan kepada para reseller. Untuk membedakan ciu kualitas satu dan dua, Pak Jasmadi mencampurkan teh ke dalam ciu kualitas dua sebagai penanda.
Ketetapan harga yang terlalu rendah dibandingkan dengan harga pasaran membuat Pak Jasmadi dan Bu Rempi enggan ikut serta. Selisihnya bisa mencapai Rp5.000 per liter. Jika ciu kualitas satu buatan mereka biasa dibanderol Rp25.000 per liter, maka pemerintah desa hanya menghargainya di kisaran Rp20.000.
Daripada buntung, keduanya memutuskan untuk fokus memenuhi permintaan para pelanggan di kota. Setidaknya program tersebut membuat operasional mereka jadi sedikit lebih lancar, walau tetap saja sesekali dia mesti menyiapkan amplop jika ada polisi yang menyambangi rumahnya. Sedikit bangkrut dia ketika mereka datang, yang penting bisnis aman.
Baca Juga: Ciu Later! Kisah Sommelier Ciu Banyumas
Selain membuat ciu, Pak Jasmadi juga memiliki sawah hasil tabungannya selama ini. Lumayan untuk tambahan. Walaupun penghasilannya tidak seberapa. Sebab dalam setahun hanya bisa panen dua kali dan saban musim kemarau, ladangnya hanya berbuah gersang karena tanah yang tidak cocok untuk ditumbuhi palawija yang mestinya subur saat musim kering.
Mak Rempi menggunakan ragi-ragi sisa proses penyulingan untuk dijadikan tape.
Di usianya yang sudah uzur, belum terlihat tanda-tanda ketiga anaknya mau melanjutkan bisnis ciu yang ia rintis. Meskipun tentu saja tebersit keinginan dari pasutri ini bahwa ada salah satu dari keempat anak bisa meneruskan sembari mengurus mereka di usia tua. Kami lantas iseng bertanya, apa syarat untuk meneruskan usaha ciunya? Yang pertama dan terutama kepekaan untuk membedakan kualitas nomor satu dan kualitas di bawahnya. Kedua, sebagaimana bisnis lain, yaitu kejelian untuk membaca selera pasar.
Jaminan Mutu
Bagi Pak Jasmadi, kualitas adalah nomor satu. Keterampilan, kepekaan, dan kesabaran adalah tiga modal utama untuk menghasilkan ciu dengan kualitas yang baik. Ketiganya diperlukan dalam sepanjang proses pembuatan ciu. Kepekaan misalnya dibutuhkan kala memilih bahan baku yang baik, yang terdiri dari ketela atau pun gula tebu. Keterampilan terutama dibutuhkan dalam proses pengolahan bahan baku dalam proses fermentasi. Hingga kesabaran dalam proses penyulingan. Maklum ciu terbaik dihasilkan dari penyulingan dengan api yang lebih kecil yang membuat prosesnya semakin lama.
Proses pergantian bahan baku penyulingan dibantu oleh seorang asisten. Sekali putaran penyulingan berlangsung selama kurang lebih 4 jam sebelum bahan baku diganti dengan yang baru.
Ketiga hal itu berpadu di dapur tradisional mereka setiap kali proses pembuatan ciu berlangsung. Biasanya, jika tidak ada aral melintang proses penyulingan memakan waktu sekitar 5 hari. Dalam rentang waktu itulah asap terus menerus mengepul dari dapur mereka.
Sedikit demi sedikit bahan baku ciu dipanaskan, kemudian disuling di atas tungku buatan sendiri. Kelihatan sederhana, tetapi dengan sistem yang kompleks. Tungku mereka untuk menyuling sepintas tidak berbeda dengan tungku tradisional umumnya. Selain bahwa keduanya dikelilingi tembok semen yang bagian atasnya digenangi air sebagai pendingin pipa penyulingan. Pun panci hasil modifikasi sendiri yang dirancang sedemikian rupa sehingga akan menampung uap penyulingan dan mengalirkannya lewat pipa kecil sampai keluar menjadi cairan ciu yang ditampung di galon-galon plastik.
Selama proses itu, Pak Jasmadi dan Bu Rempi tidak berhenti mengecek setiap prosesnya dibantu seorang asisten. Di sela-sela waktu, Bu Rempi mengumpulkan ragi-ragi sisa untuk dijadikan tape. Sementara Pak Jasmadi bolak-balik memilah dan memotong stok kayu bakar yang menumpuk di bagian depan rumah mereka untuk menjaga besaran api selama proses penyulingan.
Setelah beres, pasutri ini akan menyiapkan bahan baku baru dengan melakukan fermentasi ketela atau gula tebu dalam gentong-gentong plastik. Tujuannya supaya bahan baku mereka tidak habis sama sekali setiap kali hendak melakukan proses penyulingan.
Pak Jasmadi memilah stok kayu bakar untuk memastikan besaran api tetap stabil selama proses penyulingan. Pasokannya didapat dari penjual kayu bakar.
Ketelatenan dalam setiap proses pembuatannya membuat ciu lebih enak dan ‘tinggi’. Saya sendiri mengenal salah satu pembuat minuman keras tradisional/lokal, kebanyakan dari mereka melakukan fermentasi dan destilasi – penyulingan sendiri. Biasanya, semakin lama dan pelan prosesnya, alkohol yang terkandung dalam minuman bakal semakin tinggi.
Ciu dengan kualitas jempolan juga biasanya dihasilkan dari proses penyulingan yang dibatasi. Misalnya, dari enam liter bahan baku ciu, hanya akan didapatkan tiga liter ciu kualitas satu. Semakin banyak hasil penyulingan yang ditampung, maka semakin rendah kualitasnya. Apalagi jika proses penyulingan menggunakan api yang lebih besar.
Di beberapa daerah ciu adalah tradisi dan suguhan hangat untuk bercengkrama. Termasuk di rumah Pak Jasmadi dan Bu Rempi. Maka jangan kaget jika berkunjung ke sana, jika disambut baik oleh kedua tuan rumah, Anda akan ditawari menyisip barang setengah gelas ciu racikan mereka. Dan sebagaimana tradisi di daerah Cikakak serta daerah lain di Kecamatan Wangon dan Ajibarang, ciu biasa disuguhkan bersama teh tawar hangat dan cemilan-cemilan lokal sesuai selera.