Ciu sudah tercatat dalam sejarah Nusantara dan dikenal para pelaut Eropa setidaknya sejak abad ke-18. Ia menjadi pencair dan penghangat suasana bagi masyarakat Banyumas. Sudah jaminan, suasana tegang macam apa pun bisa lumer karenanya. Apalagi jika yang disuguhkan ciu istimewa dengan kualitas unggul.
Tidak ada yang istimewa apalagi seru dari rute Cikakak menuju Kota Purbalingga. Jalannya cenderung lurus-lurus saja dengan sesekali pemandangan sawah di kanan-kiri jalan. Tapi siang itu, perjalanan saya di rute yang sama jadi sedikit punya cerita. Bagaimana tidak, semenyebalkan apapun, membonceng bos yang setengah mabuk ciu pastilah meninggalkan kesan. Semua karena ciu ginseng.
Itu adalah perjalanan pulang kami dari kunjungan kedua ke dapur ciu milik Pak Jasmadi dan Bu Rempi, pasangan suami istri pengrajin ciu di Desa Cikakak. Desa yang dikenal sebagai sentra pengrajin ciu kelas wahid di seantero Banyumas Raya. Awalnya saya dan ibu editor, Shuli, datang dalam rangka kunjungan kerja dengan maksud mewawancarai mereka seputar proses penyulingan ciu. Namun sayang suasana masih agak tegang.
Ciu ginseng bikinan Pak Jasmadi yang berumur lebih dari satu bulan. Kombinasi rasa ginseng membuat karakternya kian kuat dan nikmat di lidah. Tidak lupa teh tawar hangat sebagai pendamping wajib dalam tata cara meminum ciu yang baik, benar, dan beradab. Foto oleh: Shuliya Ratanavara
Setelah diperkenalkan oleh kawan kami, Setyo, pasangan suami istri pengrajin ciu ini sempat enggan diwawancara. Mereka risih sebab banyak wisatawan, peneliti, maupun orang pemerintahan yang diarahkan kepala desa ke tempat mereka. Entah untuk sekadar berkunjung, atau untuk keperluan wawancara. Tanpa pemberitahuan, pun kesepakatan resmi. Sama halnya dengan rencana pembelian ciu untuk bahan dasar pembuatan hand sanitizer dan desinfektan.
Baca juga: Intip Dapur Ciu di Cikakak
Yang mereka tahu, orang-orang pemerintah daerah memang membeli ciu, “Tapi di sana buat bikin apa saya tidak tahu,” kata bapak berusia 69 tahun itu. Itu pun dengan harga yang terlampau rendah. Harga pasaran ciu kualitas satu bikinan Pak Jasmadi dibanderol Rp25.000/liter untuk pembelian jumlah besar. Sementara orang-orang pemda ini mematok harga beli dari pengrajin ciu hanya senilai Rp20.000/liter. Sudahlah berpuluh-puluh tahun praktik bisnis mereka tak tenang karena mesti kucing-kucingan dengan aparat. Begitu ada program resmi pun, bukannya jadi mulus, malahan bikin mereka buntung.
Ciu pesanan reseller Pak Jasmadi di kota. Jumlah pesanannya tak menentu, tapi rata-rata bisa mencapai sampai 30 liter. Foto oleh: Shuliya Ratanavara.
Untungnya dengan modal jaringan reseller ciu di kota, Pak Jasmadi jadi punya daya tawar dan tak perlu ikut-ikut proyek pembuatan ciu untuk hand sanitizer pemerintah daerah. Akhirnya, hanya pengrajin ciu tanpa akses reseller yang merelakan ciu mereka dibeli dengan harga rendah.
Setelah puas bercerita, Pak Jasmadi lantas menawarkan kami menyicip ciunya barang satu sloki. Selayaknya adab Banyumasan segala ketegangan mestilah ditutup dengan tegukan ciu. Sudah jaminan, keadaan sesengit apapun bisa lumer ketika diakhiri dengan seteguk ciu. Seperti yang digambarkan dengan apik Ahmad Tohari dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk saat Dower dan Sulam yang berseteru di malam bulak kelambu Srintil diakali dengan suguhan ciu.
Ndilalah, yang disuguhkan kepada kami bukan ciu biasa. Melainkan hasil olahan terbarunya: ciu ginseng. Suguhan yang tidak mungkin kami lewatkan. Sial, rasanya enak dan bos saya jadi ketagihan. Maka kami datang lagi keesokan harinya saat perjalanan pulang dari Cilacap menuju Kota Purbalingga. Selain untuk menyicip kembali ciu ginseng, kami datang juga membawa misi untuk bisa mengobrol lebih santai dan lebih banyak dengan Pak Jasmadi dan Bu Rempi.
Baca juga: Alkohol Nusantara
Dengan membawa oleh-oleh kerupuk ikan dari Cilacap, kami datang lagi. Pasangan itu pun menyambut kami dengan lebih hangat. Mungkin karena kerupuk yang kami bawa. Mungkin juga karena saat itu kami tamu mereka satu-satunya. Siapa yang tahu. Yang jelas, Bu Rempi sumringah betul saat saya cerita bos saya dari Jakarta ini ketagihan ciu ginseng bikinan suaminya. Tak tanggung-tanggung, sang nyonya rumah dengan sigap langsung menuangkan setengah gelas beling kecil untuk disuguhkan. Pelan tapi pasti, semuanya ditenggak habis oleh perempuan mungil ini, dengan sesekali menawarkan saya untuk menyisip. Gestur yang sepertinya formalitas belaka.
Muka sumringah Shuli saat akhirnya menyisip kembali ciu ginseng. Salah satu kualitas ciu yang baik adalah efek sampingnya yang membuat bahagia peminumnya. Foto oleh: Zacky Mochammad.
Salah satu ciri khas ciu adalah sensasi memabukannya yang datang belakangan. Itu pula yang terjadi dengan teman saya ini. Sepanjang kami bertamu, ia masih terlihat baik-baik saja. Bahkan masih sempat mengecek satu dua pekerjaannya, tentu tetap sembari menyisip ciu yang tak lepas dari genggaman. Ia pun masih bisa mengajak ngobrol Pak Jasmadi dan Bu Rempi tentang usaha ciu mereka hingga janjian untuk berkunjung lagi keesokan harinya untuk melihat langsung proses penyulingan ciu. Pengalaman yang akan kami ceritakan di lain hari.
Setelah ciu tandas dan sepakat untuk bertemu lagi esok hari, kami pamit. Tapi belum juga 15 menit meninggalkan area Desa Cikakak, Shuli mulai berulah tanpa sadar. Salah satunya dengan menunjuk-nunjuk dan menertawakan foto politisi yang terpampang di body mobil ambulans. Sebagai teman yang baik, saya bolak balik memperingatinya agar hati-hati. Pertama, agar dia tidak jatuh dari motor dan kedua agar dia tidak kena semprot orang. Namun apa yang keluar dari mulut saya tidak dengarkan. Dia masih saja tertawa sepanjang jalan, dan tidak lama kemudian berubah menjadi mesin karaoke.
Ada dua penanda ciu yang disuguhkan adalah kualitas nomor wahid. Penanda pertama ialah ginseng yang masih terlihat masih segar setelah sebulan lebih direndam dalam ciu. Penanda lainnya, ialah letupan kegembiraan seperti yang dialami teman di boncengan Win 100 saya ini.
Proses penyulingan ciu berlangsung selama lima hari. Dalam sehari, Pak Jasmadi bisa menghasilkan rata-rata 10-15 liter ciu. Foto oleh: Shuliya Ratanavara.
Sebagai penikmat ciu selama bertahun-tahun, ciu dengan kualitas baik memang tidak hanya membuat mabuk, tapi juga membikin bahagia. Ini sudah saya buktikan secara empiris dengan menyuguhkan ciu berkualitas unggul ketika mengelola acara-acara di Banyumas Raya. Jadi, jika pembaca sekalian menemukan orang yang ribut di sebuah acara di Banyumas dengan keadaan mulut bau ciu, bisa saya pastikan bahwa apa yang diminumnya adalah ciu berkualitas buruk, atau malah ciu oplosan.
Ada Hiburan, Ada Ciu
Keberadaan ciu di acara-acara hiburan di Banyumas Raya memang tidak terpisahkan. Mulai dari pentas ronggeng, hingga dangdut. Atau gig musik, sampai festival film. Ciu tidak pernah absen di Banyumas Raya. Minuman yang satu ini jadi pencair serta perekat suasana. Tak perlu saling kenal untuk berbagi ciu, kita hanya perlu mengikuti aturan yang sangat sederhana; duduk melingkar, tunggu giliran, dan jangan berebutan. Jika beruntung, sebatang rokok akan menyusul kemudian.
Tidak hanya di acara-acara hiburan besar, ciu juga kerap hadir dalam hajatan-hajatan atau momen-momen perayaan di Banyumas Raya. Bu Rempi bercerita, misalnya ketika jelang lebaran banyak orang yang ramai memesan ciu. Entah itu untuk diminum sebagai bagian perayaan, pun dibawa kembali ke kota sebagai oleh-oleh.
Sebagai generasi baru yang membawa ciu ke acara hiburan, saya hampir tidak punya alasan pasti saat melakukannya, saya hanya mengikuti kebiasaan “senior” saya. Ada hukum tidak tertulis yang mewajibkan untuk membawa ciu ke acara hiburan, maka dari itu hal ditanyakan ketika bertemu teman adalah soal ciu yang dibawa, karena jelas kabar kita pasti baik. Pun dengan teman-teman yang datang ke Banyumas, mereka selalu menanyakan apakah saya membawa ciu atau tidak, karena kebiasaan semacam itu pula mungkin kenapa ciu tak pernah absen dari panggung hiburan.
Ciu memang punya khasiat menghangatkan suasana, tetapi apresiasi terhadap ciu yang disuguhkan punya daya berbeda untuk merekatkan hubungan kedua pihak yang berinteraksi. Seperti Shuli dan pasangan Pak Jasmadi-Mak Rempi ini. Foto oleh: Zacky Mochammad.
Kebangggan atas ciu jadi pemicu kenapa minuman asli Banyumas ini selalu disuguhkan kepada tamu dari luar kota, saya pernah menyaksikan dalam acara komunitas vespa, panitia membagikan ciu kepada tamu dengan menggunakan toren air. Kebanggan atas Ciu sebagai identitas lokal, saya kira adalah hasil dari sejarah yang panjang, karena minuman tersebut sudah ada sejak era pelaut eropa bersandar di Nusantara. Meskipun tidak mengenal langsung dengan nama “Ciu”. Setidaknya sejak abad ke-18, para pelaut Eropa mengenalnya dengan nama Batavia Arrack Van Oosten, dan menjadi bawaan wajib ketika akan melanjutkan pelayaran.
Baca juga: Ciu Later! Kisah Sommelier Ciu Banyumas
Hari ini ciu dibagi dalam beberapa mazhab, yaitu Ciu Wangon, Ciu Wawi, Ciu Warso, Ciu Glempang, dan Ciu Kaliputih. Untuk menentukan mana yang paling enak, butuh perdebatan amat panjang, kecuali memunculkan ciu ginseng sebagai nominasi. Ciu ginseng adalah puncak piramida per-ciu-an, sebab saya jamin kita semua akan selalu bersepakta. Jika diibaratkan sebuah musik, Ciu Ginseng adalah postrock dengan suasana pelan di awal dan kita tak akan pernah tahu kapan tempo lagu akan berubah cepat.
Sebagai putra daerah Banyumas, saya memang tidak pernah bercanda soal kualitas ciu. Ada perasaan yang dipertaruhkan ketika kami menawarkannya, dan mungkin akan sangat sentimentil. Makanya kami akan sangat senang, bahkan terselip rasa bangga, ketika orang-orang menyukai ciu bawaan kami. Pun sebaliknya. Ketika orang tidak suka dengan ciu Banyumas, kami siap berdebat untuk itu.