Ada masa di mana Sokaraja dikenal sebagai sentra lukisan. Konon, deretan galeri lukisan di sepanjang jalan utama kota kecamatan tersebut ditengarai sebagai deretan galeri terpanjang di Asia Tenggara. Kini, galeri-galeri tersebut berubah wujud menjadi toko oleh-oleh gethuk goreng dan warung sroto.
Sokaraja, kota kecamatan di Banyumas identik dengan produk kuliner sroto Sokaraja serta gethuk gorengnya. Sepanjang jalan utama kota kecamatan tersebut, berjejer toko serta rumah makan yang menjajakan kedua produk tersebut. Sokaraja hanya berjarak 8 km dari pusat kota Purwokerto sebagai ibukota Kabupaten Banyumas.
Melompat ke belakang, puluhan tahun yang lampau, Sokaraja, sebelum terkenal sebagai pusat kuliner sroto dan gethuk gorengnya, pernah menggoreskan sejarah di dunia seni rupa Indonesia sebagai sentra industri lukisan. Circa 1950 hingga 1980an disebut sebagai era keemasan seniman lukis dan galeri di wilayah tersebut.
Jalan utama Sokaraja hari ini, dipenuhi toko oleh-oleh dengan kuliner khas gethuk goreng dan sroto Sokaraja yang tersohor.
Corak realis Mooi-Indie yang dikenal dengan trimurti gunung, pepohonan dan sawah menjadi ciri khas lukisan Sokaraja. Dengan jarak panjang sekitar 2 km berderet dari Timur ke Barat, dari kios ke kios, Sokaraja pernah dikenal sebagai kawasan dengan galeri lukis terpanjang di Asia Tenggara.
Gelora seni lukis di Sokaraja turun drastis pada era 90an. Banyak pelukis beralih profesi dalam kurun waktu tersebut. Perlahan Sokaraja mulai sepi dari lukisan. Salah satu sebab adalah tak ada perkembangan dalam lukisan-lukisannya dan cenderung stagnan — tak mengikuti arus zaman. Hal tersebut diceritakan oleh Abdul Basyir (88) salah satu pelukis Sokaraja yang masih hidup.
Abud Basyir, saksi mata kejayaan industri lukisan Sokaraja. Di usia senjanya Ia tetap melukis untuk menjaga rasa serta kenangan.
Di senjakala usianya, dengan sedikit ingatan yang telah digerogoti lupa, Abdul Basyir bercerita, dahulu kediamannya pernah menjadi sanggar bagi siapa saja yang tertarik melukis. Anak-anak putus sekolah pun ditampungnya dan ia ajarkan cara menyapu kuas di atas kanvas. Dengan harapan mereka tahu cara mendapatkan uang dengan modal kreativitas.
Menurut cerita Abdul Basyir, lukisan Sokaraja pernah menjadi mata pencaharian utama mayoritas warga di kampungnya. Lukisan-lukisan Sokaraja juga dikirim sampai ke luar negeri seperti Malaysia dan Singapura. Lukisan pemandangan adalah yang paling disukai para pembeli, karena eksotis dan menggambarkan kehidupan pedesaan yang tentram nan damai.
Salah satu dari sedikit galeri yang bertahan. Berkongsi dengan usaha bakmi. Dari ratusan galeri yang pernah hidup di jalan ini, hanya tersisa hitungan jari.
Abdul Basyir sendiri belajar seni melukis secara otodidak. “Belajar pada alam”, tuturnya. Sampai beranjak usia remaja ia menggemari maestro seni lukis Indonesia, Basoeki Abdullah yang terkenal dengan lukisan beraliran Realis Naturalisnya.
Tahun ini 88 tahun sudah usia Abdul Basyir. Rambutnya hampir berubah putih semua, dua telinganya tak lagi sanggup mendengar dengan baik, termakan usia. Penampilannya masih perlente, ketika ditemui di kediamannya ia menggunakan topi pet yang akrab menjadi gaya para seniman untuk penghias kepalanya. Saat ini, Abdul Basyir masih sempat melukis di waktu-waktu tertentu. “Hanya untuk olah rasa dan menjaga kenangan” ujarnya.
Kalah oleh zaman, kira-kira begitu nasib lukisan Sokaraja. Gaya lukisan ini sempat merajai pasar lukisan dari kelas eceran hingga kolektor gedongan.
Seiring berjalannya waktu, Sokaraja berubah. Di sela-sela padatnya toko gethuk goreng dan soto, masih terdapat galeri dan beberapa pelukis yang masih bertahan. Pelukis dan galeri yang masih bertahan menjadi pengingat akan cerita-cerita orang terdahulu, di mana banyak wisatawan domestik maupun mancanegara berdatangan ke Sokaraja untuk membeli lukisan dan belajar melukis.