Home > Ini Indonesia >
Seteguk Cap Tikus di Pengujung Gerimis
Seteguk Cap Tikus di Pengujung Gerimis
Mata pencaharian Arnold Luntungan ada tiga: kopra, jagung, dan cap tikus. Ketiganya punya posisi setara dalam menopang hidup lelaki Minahasa itu. Ketiganya berpusat di gubuk sederhana di tengah kebun. Tapi seiring harga sayur-mayur dan produk turunannya terus merosot, yang belakangan disebut jadi andalan Arnold tuk menyambung hidup.
Beberapa pekan sesudah sang ayah berpulang, Arnold Luntungan menganyam serat-serat pilihan yang, kelak, bermakna—jika tak ingin menyebut “besar”—dalam hidupnya. Ia memilih untuk membangun sebuah gubuk di tengah-tengah kebun serta menyadap getah saguer. Pada kedua prosesnya, dilekatkan sumber nafkah yang tak putus-putus: meracik cap tikus.
“Setiap hari di sini [gubuk di tengah-tengah kebun]. Dari jam 7 pagi sampai jam 4 sore,” demikian Arnold memulai cerita, pada suatu terang siang yang tiba-tiba diperciki gerimis. Tubuh gelamnya tak bisa, atau tak ingin, berlama-lama duduk. Sebentar-sebentar ia berjalan mengitari gubuk. Tangannya berkali-kali menyentuh permukaan pipa sulingan bambu yang mengelilingi empat sisi dinding dari tambalan seng. “Takut ada yang bocor,” papar Arnold, yang belum juga selesai berkeliling.
Gubuk di tengah-tengah kebun itu berjarak sekitar dua kilometer dari rumah keluarga Arnold di Desa Talawaan, Kecamatan Talawaan, Kabupaten Minahasa Utara, Sulawesi Utara. Maksudnya, tempuhan dua kilometer di atas jalanan berbatu. Bukan jalan beraspal. Gubuk dibangun Arnold, berpekan-pekan selepas pemakaman ayahnya.
Gubuk Arnold Luntungan yang menjadi pusat tiga penghidupannya serta keluarga.
“Rumah kebun [gubuk] ayah saya berada lebih jauh ke dalam hutan. Dekat dengan kebun nira. Di sana ayah saya dapat batifar,” kata Arnold, yang—sesudah berkali-kali mengitari gubuk—akhirnya beristirahat di bawah sebatang pohon duku.
Batifar merupakan sebutan orang-orang Minahasa terhadap proses penyadapan buah enau; nira. Batifar menandai tahap awal peracikan cap tikus, minuman khas Sulawesi Utara. “Setangkai bunga aren berukuran besar kami petik,” papar Arnold melanjutkan cerita, ”kemudian dibersihkan dan ditumbuk.” Tak cuma sekali-dua kali tumbuk, melainkan hingga berhari-hari lamanya. Hasil tumbukan tak boleh terlalu halus lantaran nantinya mesti dipotong-potong. Pemotongan menghasilkan getah yang dinamai saguer.
Itulah saatnya Arnold kembali ke kampung. Berjalan kaki, membeli gas dalam kemasan tabung seberat tiga kilogram. Sekembalinya ke gubuk, Arnold langsung mempersiapkan semua perabot penguapan saguer: tabung gas itu tadi, sebuah gentong—yang sebelumnya sudah dibelah dua, sebuah papan kayu, pipa penyalur gas ke tungku serta satu jeriken bervolume lima liter.
Baca juga: Sopi: Satu Botol Tradisi, Dua Botol Emosi, Tiga Botol Kantor Polisi
Gentong mewadahi saguer. Gentong itu ditutup sebuah papan kayu, kemudian diletakkan di atas tungku yang bersangga pada empat tumpukan batu bata berlapis semen. Arnold mendekati tabung gas, memutar katup, sebelum terdengar bunyi mendesis. Bunyi gas mengalir.
Pada titik ini, penguapan pun bermula.
Proses penguapan saguer memakan waktu selama delapan jam. Selama itu pula prosesnya mesti ditunggui demi mendapatkan cita rasa optimal.
“Harus tunggu sekitar delapan jam. Tidak boleh ke mana-mana,” sahut ayah dari dua anak perempuan itu. Sekali, pernah, Arnold cukup lama meninggalkan gubuk saat saguer sedang berevaporasi. Tak tahu ia, ternyata bahan bakar gas nya sedikit lagi habis. Rupanya, “gas yang saya beli tidak penuh satu tabung.” Alhasil, proses penguapan tersendat di tengah jalan. Rasanya, menurut pengakuan Arnold, “jadi berbeda dengan cap tikus yang biasa saya buat.”
Baca juga: Alkohol Nusantara
Lantaran rasa tak selumrah yang lalu-lalu, ia kemudian menjual cap tikus seharga Rp20.000 per botol bekas bir. Pada hari-hari biasa, Arnold membanderol Rp25.000 untuk satu botol minuman racikannya. Setiap hari ada pelanggan yang datang. Setiap hari modal gas nya terbayar.
Menakar Sesapan
Benarlah adanya. Delapan jam menunggu bukanlah waktu yang sebentar. Terlebih lagi di tengah-tengah kebun; kala tak terdengar satu pun suara manusia lain atau kendaraan bermotor. Hanya gonggongan anjing berbulu cokelat bernama Anjing. Itupun, ia cuma sesekali menyentak.
Syukurlah, Arnold memiliki dua pekerjaan yang setara peracikan cap tikus. Setara, bukan sampingan, lantaran ketiganya sama-sama menyokong kebutuhan keseharian keluarga Arnold.
Jalan menuju gubuk Arnold di tengah kebun dari rumah keluarga di Desa Talawaan.
Jauh sebelum meracik cap tikus, Arnold secara menahun turut membudidayakan pohon kelapa. Ia menjual produk turunan kelapa dalam wujud kopra. Panen kopra dilepas ke tengkulak, yang kemudian membawa hasil buminya ke Bitung, pesisir utara Pulau Sulawesi. Dari Bitung, “kabarnya dibawa naik kapal ke … saya tidak tahu ke mana,” ucap Arnold sambil menyesap rokok yang kurang dari separuh batang.
Gerimis datang dan pergi. Arnold bolak-balik mengecek jemuran jagung, satu dari tiga pekerjaan yang sudah lama dijalani. Kebun jagung Arnold berada pada kedalaman hutan. Bersisian dengan kebun enau. Di Talawaan, waktu tanam jagung pada musim kemarau berlangsung selama tiga bulan. Terhitung dari masa menabur benih hingga panen. Begitu dipanen, jagung mesti segera dijemur di bawah sinar Matahari. Waktunya sekitar satu hingga tiga hari, bergantung ajek atau tidaknya sinar Matahari sepanjang siang.
Baca juga:
“Kopra, turun. Jagung, turun,” berkeluh Arnold tentang harga sayur-mayur berikut produk turunannya. Terasa kekecewaan dari nada bertutur yang lirih. Meski begitu, ia enggan mengungkap seberapa besar penurunan harga jual kopra serta jagung kering. “Sekarang bergantung pada cap tikus saja,” papar Arnold mengaduh. Mata sendunya menatap Anjing, yang sedari tadi sibuk mengunyah pepaya.
Belum separuh perjalanan, kini. Butuh setidak-tidaknya lima jam sebelum uap mulai mengepul ke sepenjuru gubuk, mengalirkan getah yang mengikuti kelok-kelok pipa, hingga akhirnya menetes ke dalam jeriken. Arnold mulai bolak-balik, lagi, mengecek jemuran jagung. Tiga pekerjaan dalam sehari. Tiga pekerjaan, yang membutuhkan tubuhnya terus bergerak.
Gerimis pergi lagi. Bersilih angin nan menyapu aroma rempah-rempah ke sekitar dipan kayu yang bernaung sebatang pohon duku. “Bau cengkih dan pala,” papar sang pemilik mata sendu.
Di samping membuat Cap Tikus, bertanam jagung jadi satu dari tiga mata pencaharian Arnold Luntungan.
Rasa dan aroma cap tikus di pelbagai daerah di Sulawesi Utara tak selamanya tersesap sama. “Di desa kami,” kata Fence, menantu Arnold, “cap tikus kental dengan aroma cengkih dan pala. Sedari dulu kami menggunakan dua rempah-rempah itu sebagai bahan campuran penguapan [saguer].” Oh, pantas, harum. Bahkan harum sekali.
“Seteguk saja, ya,” tiba-tiba Arnold mengulurkan dua botol bekas kemasan air mineral. Secara kasatmata, isinya adalah air putih. Air berwarna putih. Ketika tutup botol dibuka, saat itu pula tercium aroma minuman beralkohol; seakan-akan sedang berlomba dengan aroma rempah-rempah, hendak memanjat permukaan botol. Harum. Bahkan harum sekali. Ya, ini repetisi.
Ada ujar-ujar, Fence menyahut, “soal bagaimana kita seharusnya menakar diri ketika minum cap tikus.” Arnold tertawa kecil. Satu seloki cap tikus, papar Fence kemudian, “menambah darah. Dua seloki, torang masuk bui.” Tiga seloki?
“Torang ke neraka,” kata Arnold seraya tertawa. Kali ini lebih lapang. Sementara matanya, tetap, sendu.